Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Stasiun TV Nasional: Mungkinkah Independen?

9 Februari 2018   17:20 Diperbarui: 9 Februari 2018   17:28 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (kompas.com)

Bertahun-tahun sebelum Aksi 212 terjadi, hampir semua stasiun televisi tak pernah menyiarkan sisi positif yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI). Namun, begitu FPI diduga melakukan kesalahan, sontak stasiun-stasiun televisi memberitakan. Mengupas habis peristiwa yang dilakukan FPI tersebut, tanpa diimbangi berita mengenai aktivitas-aktivitas positif yang sudah dilakukan FPI.

News judgment yang sama juga dilakukan sejumlah stasiun televisi, jelang Pemilihan Presiden Republik Indonesia 2014 lalu. Oleh beberapa stasiun televisi, Joko Widodo digambarkan sebagai sosok yang tak layak jadi Presiden RI periode 2014-2019. Betapa tidak, paket-paket berita yang dimunculkan tentang Jokowi, hanya yang negatif-negatif, bahkan cenderung hoax. Di mata pemirsa stasiun televisi tersebut, Jokowi tak ada nilai positifnya.

Terakhir, pada paruh 2017, saat Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Mayoritas penonton televisi lagi-lagi dijejali keberpihakan pada Calon Gubernur. Penonton di tanah air sudah tahu, mana stasiun televisi yang berpihak pada pasangan Ahok-Djarot, dan mana stasiun televisi yang pro terhadap pasangan Anies-Sandi. Dua pasangan, berbeda sudut pandang dalam mengupas isu.

Stasiun televisi pro ke Anies-Sandi membombardir paket berita negatif, baik mengenai prilaku maupun sejumlah kebijakan Ahok-Djarot. Seolah Ahok-Djarot tak ada sisi positifnya. Sebaliknya, stasiun televisi pro Ahok-Djarot memberikan panggung ke sejumlah Narasumber untuk mem-bully sosok Anies-Sandy. Selain memberi panggung, juga memberikan data-data hasil survey yang keakuratannya dipertanyakan.

***

Miris. Begitu barangkali kata yang tepat untuk mengomentari kondisi di layar kaca beberapa tahun kemarin dan sampai kini. Penonton (baca: rakyat) dibuat bingung dengan informasi yang berbeda di masing-masing televisi. Di televisi A, menginformasikan begini. Sementara di televisi B, informasinya begitu. Narasumber pun dibuat terpolarisasi. Ketika Narasumber A pro ke Capres atau Cagub tertentu, Narasumber ini pun seolah dikontrak seumur hidup di stasiun televisi tersebut. News Producer yang coba-coba mencari Narasumber yang pro Capres atau Cagub lain, bakal disemprot oleh Executive Producer (EP) atau Pemimpin Redaksi (Pemred). Jika EP atau Pemred tak berani menyemprot News Producer yang berani "tampil beda" (baca: independen), siap-siap Owner akan merestrukturisasi jabatan mereka.

Hari ini, tepat di Hari Pers Nasional 2017, Dani Asmara, seorang Dosen, menulis di harian Republika (Jumat, 9 Februari 2018). Penulis setuju sekali dengan opini Dani. Tulis Dani...

"Pers sulit untuk independen, bebas dari pengaruh uang dan pasar. Belum lagi, stasiun televisi yang dijadikan sarana kampanye dan pencitraan, baik dari pemiliknya maupun koleganya semuanya jelas-jelas menunjukkan kalau independensi pers jauh dari kata merdeka".

***

Tahun ini dan tahun depan menjadi tahun politik. --Sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu--. News Producer sudah pasti stres menerima sejumlah pesanan dari sang Atasan, agar tidak salah. Salah apa? Salah membuat angle dalam membuat paket berita atau salah menghadirkan Narasumber di program-program dialog. Jika News Producer melakukan tidak sesuai dengan kebijakan perusahaan (baca: Owner), bisa fatal akibatnya. Salah-salah disuruh menggundurkan diri.

Apa semua News Producer stres? Ya, tentu tidak! Pasti ada yang enjoy lah. Selain enjoy dengan kehidupan sebagai Jurnalis, juga enjoy (baca: sejalan) dengan sikap politik si Owner stasiun televisi. Untuk sementara, lupakan idealisme sebagai jurnalis. Oleh karena itu, alangkah sulit memberitakan hal positif seorang Presiden bernama Jokowi, ketika sang Jurnalis bekerja di stasiun Televisi X. Kebijakan pemberitaan Televisi X memang tak ingin Jokowi menang sebagai Presiden. Begitu juga sungguh berat membuat news feature mengenai FPI di stasiun televisi Y. Jadi, rasanya apa yang ditulis oleh Dani di Republika hari ini ada benarnya. Bahwa, independensi pers, jauh dari kata merdeka.

Salam Hari Pers!  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun