Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Gurita Parpol dalam Bisnis Televisi

13 Oktober 2017   16:13 Diperbarui: 15 Oktober 2017   10:22 2024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi televisi| Sumber: Kompas/Priyombodo

Bisnis televisi dan kepentingan politik memang tak bisa terpisahkan. Kalau boleh penulis anologikan, ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisah. Di satu sisi, televisi bertugas memberikan informasi dan hiburan. Namun di sisi lain, ada kepentingan-kepentingan politik yang tak bisa terhindarkan.  Kejadiannya bukan belakangan terjadi, tetapi sudah sejak Indonesia mengenal televisi.

Mari kita kilas balik sejarah TVRI. Presiden Republik Indonesia ke-1 Ir. Soekarno secara politis memutuskan, memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV. Soekarno meminta Menteri Penerangan Maladi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) pada 25 Juli 1961.

Soekarno yang sedang berada di Wina mengirimkan teleks kepada Menpen untuk segera menyiapkan proyek televisi. Meski persiapan tinggal 10 bulan, Menpen diminta sang Presiden untuk membangun studio di eks AKPEN di Senayan, membangun dua pemancar, serta mempersiapkan sofware (program dan SDM). Tepat pada 24 Agsutus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kali saat siaran pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno.

Tak cuma TVRI yang berada di pusaran politik, televisi swasta pun mengalami. Di era Orde Baru (Orba), hampir semua saham televisi dikuasai oleh Keluarga Cendana. Sebut saja RCTI maupun TPI. Tentu kepentingan politik yang dijalankan pemerintah sangat kental. Baik RCTI maupun TPI tak berani menentang pemerintah. SCTV lah yang berani "melawan" pemerintah, terlebih lagi detik-detik reformasi pada 1998.

Kala ANTV baru menginjak tahun-tahun awal kelahirannya, penulis sempat merasakan aroma Golkar. Berita mengenai "partai kuning" mewarnai di program berita Cakrawala. Oleh karena menguasai ANTV, parpol ini bagai gurita. Pendapatan dari iklan yang diraih tim sales marketing ANTV, sebagian terkuras untuk kebutuhan Golkar. Jangan heran, penulis dan teman-teman di ANTV saat itu sempat merasakan kegoncangan finansial. Kegoncangan menyebabkan keterlambatan gaji.

Di zaman Orde Baru (Orba), televisi memang dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Selain untuk mempublikasikan pembangunan, televisi juga menjadi alat konsolidasi kekuasaan. Sajian-sajian berita di RCTI maupun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) banyak diwarnai pencitraan orang-orang atau para pengusaha yang berafiliasi dengan Keluarga Cendana. 

Peta bisnis televisi mulai berubah begitu Orba tumbang. Televisi mulai terpolarisasi. Ada televisi yang pro terhadap kubu A, ada televisi yang pro terhadap kubu B. Terlebih lagi ketika era pemilihan langsung dimulai. Televisi mulai mencekoki penonton dengan sejumlah tayangan berita dan survei yang bisa memengaruhi penonton (baca: tayangan [pencitraan). Begitu Owner dekat dengan calon Presiden (capres), mulailah kebijakan di dalam televisi berubah. Wajib menayangkan capres di tiap berita. Jika perlu, capres tampil di acara favorit di televisi itu. Di situlah gurita parpol terjadi.   

Era sekarang, tak jauh beda dengan era sebelumya. Gurita partai politik masih tetap menghantui bisnis televisi. Tak perlu dijelaskan lagi, mayoritas penonton sudah tahu, bahwa MNC dan Metro TV dimiliki oleh pemilik perpol. MNC membawa bendera Partai Persatuan Indonesia (Perindo), sementara Metro TV dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).     

Jika tadi penulis infokan, ANTV sempat guncang, --gara-gara beberapa tahun lalu, gurita parpol mengganggu bisnis ANTV,-- kini tak lagi. ANTV sekarang dikelola lebih profesional. Bahkan beberapa kali, ANTV menjadi stasiun televisi hiburan nomer 1. Kondisi keuangan ANTV membaik sejak 2014 lalu.

Laporan yang penulis kutip detikFinance, pendapatan ANTV meningkat 52,5% menjadi Rp 576,27 miliar (2014). Padahal pada 2013 cuma mendapat Rp 377,88 miliar. Menurut Presiden Direktur PT. Intermedia Capital Tbk atau MDIA (pemilik saham ANTV) Erick Thohir, ANTV berhasil menjadi salah satu tv dengan tingkat efisiensi yang membanggakan. Dari data AC Nielsen, pada 2017, ANTV berhasil mempertahankan posisi sebagai stasiun dengan audience share rata-rata 15,0 selama semester I 2017.

Kini, ANTV lebih sehat, profesional. Berbeda dengan televisi yang terjerat gurita parpol. Setiap bulan, bagian keuangan pusing tujuh keliling. Pusing bukan cuma mengurus biaya operasional televisi, tetapi harus berbagi dana ke parpol yang dimiliki owner televisi bersangkutan. Televisi harus mensubsidi parpol. Duit dari iklan dikucurkan untuk keperluan parpol, mulai dari Pusat, cabang, sampai ranting. Memang tak semua uang dikucurkan, tetapi lumayan banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun