Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sejarah dan Tujuan TV Pool

21 Agustus 2013   08:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:02 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1377047983749863201

Pada upacara detik-detik proklamasi di Istana Negara 17 Agustus lalu, Anda pasti melihat seluruh stasiun televisi secara serempak menyiarkan secara langsung acara tersebut. Dari awal sampai akhir, sudut pengambilan gambar upacara tersebut tidak beda. Baik ketika Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) baris-berbaris, maupun Menteri Agama Suryadarma Ali memimpin doa, shot-nya sama. Mau Anda pindah saluran dari SCTV ke ANTV, atau Metro TV ke tvOne, tidak ada bedanya. Itulah TV Pool.

TV Pool adalah sebuah peliputan atau siaran bersama dengan satu stasiun televisi yang in charge (baca: bertugas) memproduksi peliputan tersebut. Sejarah TV Pool di tanah air terjadi pertama kali ketika Ibu Negara Tien Soeharto meninggal dunia pada tanggal 28 April 1996. Saat itu, inisiatif peliputan dilakukan oleh Peter Gontha, salah satu Komisaris RCTI. Ia ditelepon oleh oleh Bambang Trihatmojo, yang juga pada 1997 masih menjadi Komisaris Bimantara Group (holding company RCTI), untuk memimpin siaran bersama seluruh stasiun televisi.

Mulai dari mengorganisasi peliputan prosesi pemakanan dari Jakarta sampai Surakarta, bahkan duduk di ruang kontrol, dan menelepon para pemimpin televisi swasta, dilakukan oleh Peter Gontha. Meski yang menjadi television in charge adalah RCTI, tetapi TVRI ikut merelai peliputan pemakaman Ibu Tien Soeharto.

Padahal menurut perjanjian dengan televisi swasta, TVRI seharusnya menjadi tuan rumah pada setiap TV Pool dalam berbagai peristiwa kenegaraan,” tulis Komisaris Trans Corp DR. Ishadi S.K. Msc dalam buku Pers dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni (Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal 235, yang pada saat itu masih menjadi Direktur Jenderal Radio dan Televisi Departemen Penerangan Republik Indonesia (Dirjen RTF-RI) .

Namun, boleh jadi prosesi pemakaman dianggap oleh TVRI bukan sebagai ‘peristiwa kenegaraan’, sehingga yang berinisiatif adalah RCTI. Terlebih lagi, TV Pool Ibu Tien berlangsung selama tiga hari, mulai dari tanggal 12 Mei hingga 15 Mei 1997, dan berlangsung selama 14 jam setiap hari. Oleh karena durasi TV Pool ini cukup lama, berbagai program acara rutin di beberapa seluruh stasiun televisi tidak tayang. Tak cuma acara hiburan, semacam sinetron yang tidak tayang, tetapi juga seluruh iklan.

Apakah pada saat TV Pool Ibu Tien saat itu seluruh televisi menyukai? Untuk prosesi pemakamanan dalam satu hari liputan tentu tidak menjadi masalah. Tetapi, kalau sampai tiga hari dan selama 14 jam tentu saja berbeda cerita, kecuali masing-masing stasiun televisi membuat program acara sendiri tanpa dibebankan dengan TV Pool (baca: sekadar merelai siaran dari televisi yang in charge, dalam hal ini RCTI).

Sebagian orang mengatakan, TV Pool dianggap sebagai “pemaksaan”. Dion DB Putra, misalnya. Jurnalis asal Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah menulis di Kompasiana pada 17 April 2009, bahwa pidato Presiden SBY yang disiarkan secara serempak di seluruh stasiun televisi swasta dianggap berlebihan, apalagi jika ditinjau dari prinsip dan kaidah jurnalistik.

Menayangkan pada saat yang sama dengan durasi waktu yang cukup lama, tidak mungkin diterima begitu saja oleh pemirsa yang kritis,” tulisnya.

Berlebihan dan dianggap sebagai sebuah “pemaksaan” sebagaimana ditulis Dion, karena pada tayangan TV Pool tersebut bukanlah upacara kenegaraan. Tetapi sekadar klarifikasi SBY sebagai Presiden, dalam rangka “menangkis” serta menanggapi gerakan dan pernyataan sikap para elit politik yang menilai Daftar Pemilih Tetap (DPT) 2009 kacau. Sehingga, pemilih yang tidak masuk DPT, tidak bisa menyalurkan suaranya dalam Pemilu 9 April 2009. Gara-gara kekacauan ini, Pemilu 2009 dianggap sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia.

Sebetulnya, TV Pool pernah dilakukan sebelum kerusuhan Mei 1998 terjadi dan menulai protes. Dalam buku Pers dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Ishadi menceritakan detail kronologis inisiatif TV Pool dan akhirnya tidak jadi dilaksanakan. Saya tidak akan menceritakan secara detail, tetapi singkatnya, setelah Menham Pangab Wiranto memerintahkan aparat keamanan untuk meredam kerusuhan agar tidak meluas. Sebagai Dirjen RTF, Ishadi kemudian mengumpulkan para penggung jawab radio dalam kelompok Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) dan jajaran pimpinan stasiun televisi swasta, yang saat itu masih lima, yakni RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dan ANTV.

TV Pool yang coba saya gagas bersama Menteri Penerangan kala itu, Prof. Alwi Dahlan, Ph.D. seorang ilmuwan komunikasi,” tulis Ishadi. “Setelah mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk pakar komunikasi di kampus UI, masing-masing stasiun televisi memisahkan diri dari kegiatan TV Pool. Diskursus kebebasan dalam produksi dan distribusi teks sudah merupakan satu hal yang tak terelakkan atau sedang mencapai puncaknya pada saat itu”.

Terlepas dari “pemaksaan” yang sebagaimana dikatakan Dion atau pernah dilakukan RCTI saat prosesi pemakaman Ibu Tien Soeharto, tentu saja TV Pool punya tujuan yang “baik”. Pertama, seluruh stasiun televisi jadi bisa saling berkoordinasi dan mendapatkan hak siar relai kegiatan kenegaraan yang sama. Semua stasiun televisi memiliki jatah yang sama. Kedua, dari segi teknis, tidak akan terjadi rebut-rebutan “lapak” dalam rangka penempatan kamera untuk kebutuhan pengambilan gambar.

Barangkali Anda masih ingat, terakhir ketika berlangsung prosesi pemakaman Ketua MPR Taufiq Kiemas di Taman Makam Pahlawan pada Minggu, 9 Juni 2013 lalu, sejumlah stasiun televisi “rebutan lapak”, terutama stasiun televisi yang memang menyiarkan langsung upacara tersebut. Tidak ada konsep TV Pool yang dikomandoi oleh satu stasiun televisi yang in charge, tetapi menggunakan istilah: “siapa cepat dapat lapak strategis (baca: penampatan kamera yang bagus), dialah yang memiliki pengambilan gambar yang keren”. Tak heran, jika tanpa konsep TV Pool, beberapa menit ada Tokoh Bangsa yang meninggal, stasiun televisi yang berniat siaran langsung di rumah duka atau lokasi pemakaman, biasanya langsung mengerahkan peralatan siaran langsung ke lokasi tersebut. Tujuannya tak lain mencari “lapak” itu tadi.

“Rebutan lapak” tanpa TV Pool membuat stasiun televisi tidak leluasa mengambil gambar. Panning (menggerakkan kamera ke kanan/ kiri) sedikit, sudah ada kamera milik stasiun televisi lain. Kalau pun dipaksa, biasa akan terlihat “bocor” kamera-kamera lain. Begitu pula ketika ada kamera yang dipakai dengan cara handheld (tanpa tripod), jalur kabel tidak leluasa lagi diarahkan, karena bisa “tabrakan” dengan kabel camera dari stasiun televisi lain.

Boleh jadi, kendala-kendala teknis –terutama soal sempitnya pengambilan gambar- tak akan terjadi, jika pada saat prosesi pemakaman Taufiq Kiemas menggunakan TV Pool. Namun, oleh karena suami Megawati Soekarnoputri ini dianggap tidak masuk kategori sebagai peristiwa kenegaraan, dan tidak ada pengelola stasiun televisi yang berinisiatif membuat TV Pool, walhasil liputan Taufiq Kiemas tidak seperti liputan Ibu Tien beberapa tahun lalu.

TV Pool dilandaskan pada situasi in state of emergency, yang umumnya dilakukan di banyak negara, termasuk negara demokrasi barat,” tulis Ishadi lagi.

Benar apa yang dikatakan Ishadi, di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, TV Pool memang sudah lama dilakukan. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, kabarnya stasiun televisi yang in charge untuk TV Pool, bergiliran. Di suatu ketika yang memegang kendali ABC, kadang CBS atau NBC. Berbeda sekali di tanah air, dimana setiap peristiwa kenegaraan masing saling tunjuk-tujukkan alias “takut repot”, karena ditunjuk sebagai television in charge.

Meski jarang sekali, TV Pool terjadi di Amerika, kalo kebetulan ada spesial event dari pemerintah, misalnya upacara pelantikan Presiden. Tetapi cara mempresentasikan dalam bentuk tayangan, baik host dan segmentasi, masing-masing berbeda-beda,” ujar Naratama, senior Produser Voice of America (VoA).

Meski TV Pool ada, menurut Naratama apa yang dilakukan di Amerika Serikat tidak 100% bisa disebut sebagai TV Pool, sebagaimana di tanah air, yang hampir 100% merelai tayangan dari stasiun televisi yang in charge. Jelas Naratama, ada satu stasiun televisi yang in charge berada di dalam lokasi upacara kenegaraan, yakni Public Broadcasting Service (PBS) sebagai stasiun televisi milik negara. Semua kamera PBS yang meliput upacara terus di-on-kan atau istilahnya dijadikan kamera ISO. PBS tidak mengirim kamera master atau hasil switch dari Program Director (PD) yang in charge. Kamera ISO ini langsung masuk ke dalam semua switcher stasiun televisi yang meliput siarang langsung. Meski semua shot dari kamera ISO itu sama, masing-masing stasiun televisi tetap “mengolah” tayangan dengan berbeda. Sebab, mereka memasang lagi beberapa kamera lain di luar lokasi upacara.

Oleh karena semua kamera masuk ke ISO ke masing-masing televisi, jadi kalo nonton, hasilnya berbeda. Nggak monoton,” kata pria yang akrab disapa Nara ini. “Dan bisa saja di tengah-tengah pidato Presiden ada iklan”.

Kata Nara, pidato Presiden bukanlah keharusan untuk ditayangkan, kecuali PBS. Jadi, bisa saja dipotong oleh jeda iklan, atau bahkan pernah langsung diputar program lain, semacam American Idol.

Konsep fully TV Pool itu melawan azas demokrasi,” tegas Nara.

Salam Demokrasi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun