Mohon tunggu...
Ben Wirawan
Ben Wirawan Mohon Tunggu... -

left brain and right brain hemisphere thinker -driven by guts.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tolak Bala dengan Sedekah Waktu

14 Januari 2017   05:40 Diperbarui: 14 Januari 2017   08:05 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan saya sering sengaja 'ngopi-ngopi santay' dengan beberapa teman masa remaja. Well ...Jadi manusia berkepala empat --a.k.a separo tua--, memang ada enaknya. Jika kita melihat ke belakang, ada empat puluh tahun sejarah yang kita pernah lihat dan alami sendiri. Hidup tidak lagi teori, tidak lagi kaku.

Saya punya banyak teman transformers; dulunya bujangan pleboy--sekarang jadi bujangan doang, dulunya susah kaya --sekarang susah miskin, dulunya susah gerak --sekarang susah diem ...atlet lari .. spartan!

Hidup adalah perubahan. Seperti batu yang ngejugrug di tikungan jalan, tidak akan kita anggap hidup, karena enggak berubah wujud dan posisinya. Memang beberapa teman yang lain tampak tidak berubah, ----karena pakai cat rambut hitam. Teu kaci ah ...hehehe

Anyway, ketika ngopi-ngopi santay ini saya sering ketiban pertanyaan yang sama dari beberapa teman-teman yang rupanya walau jauh tetap sempat saling kepo di Fb. Pertanyaannya, "Elu ngapain sih rajin amet ikut kegiatan ini-itu di Bandung?"

Kadang saya terkesima juga ketika ditanya begitu. Gak bisa jawab karena hal-hal itu bukan sesuatu yang saya benar-benar awalnya diniatkan. Kebiasaan.

Tapi tentang 'ngapain aktif ini-itu di luar kerjaan', sekarang saya bisa bilang bahwa alasan saya adalah: Tolak Bala: nolak petaka.

Jadi gini, Kang Mas Bro. Temen-temen tahu kan bahwa saya setelah lulus kuliah memilih jalan wirausahawan. Financially, jalan wirausaha ini bukan jalan yang mudah. Kita-kita di jalan ini, sejak awal harus belajar untuk memikirkan hajat hidup banyak orang di luar keluarga sendiri. Usaha kita susah maju kalau hanya dikerjakan sendirian. Kita harus belajar berani merekrut tenaga pembantu pewujud mimpi. Konsekuensinya kita harus mau ikut bertanggung jawab terhadap hidup orang lain: hidupnya partner, karyawan, dan anak istrinya. Intinya, ikut memikirkan keluarga orang lain.

Di awal karir sebagai wirausahawan, saya belajar ikhlas menggaji karyawan lebih besar daripada menggaji diri sendiri. Saya juga belajar rela, membayar THR karyawan tepat waktu, padahal kita yang punya perusahaan, dapat THR justru sesudah hari raya. Itu juga kalau panen hari rayanya lancar. Kalaupun punya untung lebih, karena enggak bankable, yang kepikiran pertama adalah memasukkan lagi untung ke modal. Ujung-ujungnya duit kita mah, yah ... secukupnya aja.

Habis mau gimana lagi? Kalau kita enggak berusaha ikut menjaga kehidupan karyawan, bagaimana mereka mau ikhlas bantuin kita mengejar mimipi kita?

Lama-lama hal ini jadi kebiasaan. Dan jadi kepercayaan. Saya jadi percaya bahwa membantu orang lain itu adalah membantu diri sendiri. Dan sebagai orang yang uangnya 'secukupnya saja', cara paling masuk akal untuk dapat banyak bersedekah adalah sedekah waktu -karena sedekah duit masih terbatas.

Dari sana saya mulai meluangkan waktu saya. Selepas kantor atau di sela-sela kesibukan, saya sedekahkan waktu saya untuk orang lain. Melakukan hal yang bermanfaat untuk orang lain, yang kadang gak ada duitnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun