Saat Idul Fitri tahun lalu, saya mudik ke kampung halaman. Dalam perjalanan itu, saya menyaksikan beberapa orang yang tetap bekerja di saat sebagian besar masyarakat tengah menikmati liburan.
Mereka yang terlihat itu terdiri dari polisi, pekerja tol, pramusaji restoran, hingga pegawai SPBU Pertamina.
Terbersit dalam pikiran saya mengenai orang-orang itu. Bagaimana dengan perasaan dirinya ya? Apakah mereka juga bisa menikmati liburan seperti kita? Lantas, bagaimana dengan keluarganya?
Pertanyaan-pertanyaan itu membawa saya pada sebuah refleksi tentang bangunan masyarakat. Bahwa, privilege yang kita nikmati selama ini sebenarnya dikontribusikan oleh pihak lain.
Ya, kenyamanan kita dalam hidup pada dasarnya ditopang oleh pengorbanan orang lain dalam kapasitas profesinya. Hal ini seolah terberi (given) begitu saja, tapi sebenarnya merupakan bagian dari bekerjanya sistem sosial yang kompleks.
Misalnya, kenyamanan kita untuk membeli barang secara online bisa dimungkinkan karena ada kurir yang mengantarkan barang sampai rumah, atau kemudahan kita berpergian saat hari raya karena ada penjaga SPBU yang bekerja siang dan malam.
Mereka yang bekerja untuk melayani masyarakat ini jarang sekali disorot. Padahal tanpa mereka, sebuah bangunan society mustahil bisa berdiri kokoh.
Tulisan ini adalah bagian dari salutasi untuk mereka yang tetap bekerja di tengah gegap gempita privilege kelas menengah di Indonesia.
Para Penjaga Energi Bangsa
Banyak kisah pegawai SPBU Pertamina yang tidak bisa merayakan hari raya Idul Fitri karena kewajiban profesinya. Mereka harus tetap melayani masyarakat demi tersedianya Bahan Bakar Minyak (BBM). Â
Kondisi seperti itulah yang dirasakan Silvi, seorang pegawai SPBU Pertamina di Jetak, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.