Mohon tunggu...
Oman Salman
Oman Salman Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Surel: salmannewbaru@gmail.com

Sedang belajar memahami anak dan ibunya...

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Lebaran dan Ketakutan kepada Pemudik OTG

24 Mei 2020   13:32 Diperbarui: 24 Mei 2020   13:26 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS


Larangan mudik atau pulang kampung tinggal larangan. Faktanya tetap saja pemudik berdatangan. Seribu satu cara dilakukan untuk sampai di kampung halaman. Padahal wabah Corona masih menjadi ancaman.

Momen lebaran memang bukan sekedar ritual keagamaan. Ia sekaligus melekat sebagai ritual kebudayaan. Rasanya tak mungkin kita memisahkan antara lebaran dengan tradisi mudik. Lebaran ya mudik. Mudik ya lebaran.

Tentu itu sangat lumrah bahkan sakral. Menemui orang tua dan orang-orang tercinta atau mengunjungi makamnya di kampung adalah suatu ritual kebudayaan yang rasanya sulit dilepaskan dari momen lebaran.

Meskipun demikian bulan ramadhan yang baru saja kita lewati dan hari ini,  1 Syawal 1441 H, nampaknya kita semua betul-betul sedang diuji. Wabah Corona yang kita alami lebih dari dua bulan ini telah membuat kita semua harus menyadari dan bersukarela untuk dibatasi dalam melakukan ritual agama ataupun budaya selazimnya kita lakukan setiap momen ramadhan dan lebaran.

Larangan pemerintah untuk tetap di rumah dan tidak mudik lebaran sudah sepatutnya ditaati bersama. Ini memang sulit namun itulah keadaan kita saat ini. Dan itulah pilihan kita yang paling tepat untuk saat ini guna mencegah penyebaran dan penularan virus Corona ke berbagai daerah.

Tapi, bukan orang Indonesia namanya kalau tidak kreatif. Banyak akal dan cara dilakukan untuk tetap sampai di kampung halaman.

Lalu bagaimana respon dan reaksi penduduk kampung yang sehari-harinya tinggal di kampung terhadap para pemudik "paksaan" ini? Diantara respon tersebut adalah rasa khawatir kalau-kalau salah satu, apalagi banyak, dari pemudik tersebut adalah OTG (orang tanpa gejala).

Penduduk kampung merasa takut dan khawatir akan OTG yang mudik. Lebih khawatir lagi jika pemudik tersebut tidak disiplin. Mereka tidak melakukan karantina mandiri selama 14 hari di rumahnya.

Di kampung saya sendiri ada cukup banyak, meskipun jumlahnya dapat dihitung dengan jari, pemudik yang sampai di kampung dalam masa larangan mudik ini. Tentu kami tak mungkin dan tak berhak menolak mereka. Toh ini juga kampung mereka.

Namun, ada perasaan khawatir, campur kecewa, ketika melihat pemudik "paksa" itu tidak mengindahkan protokol kesehatan. Yakni tidak melakukan karantina mandiri. Jangankan menunggu 14 hari, belum seminggu saja mereka sudah keluar rumah dan melakukan aktivitas sosial.

Memang sampai detik ini di kampung kami, Kuningan bagian Timur, semoga juga di kampung Anda, yang kedatangan pemudik, masih aman dan nol kasus positif Corona. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun