Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Para Pengemudi Ojek Pangkalan, Anda Bisa Menyaingi Ojek On-Line Kok, Begini Caranya...

17 Mei 2016   07:48 Diperbarui: 17 Mei 2016   10:29 1305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Kompasiana.com/Om-G, 17 Mei 2016]. | Ilustrasi: berita89.com

Bagi para pengguna ojek (paling tidak, sebagiannya), menggunakan ojek on-line itu menyenangkan: memesannya praktis, tidak menunggu lama, tarifnya pasti (tidak usah tawar menawar, dan tidak kuatir “ditipu”), motornya lumayan kinclong, dan sebagainya, dan sebagainya.

Wah kalau begitu, tidak ada harapan dong para ojek pangkalan (Opang) bisa “mengalahkan” mereka (para “Ojol”, ojek on-line...)? Ya sudah, kalau panjenengan yakin sekali bahwa keadaannya adalah seperti itu, ya bergabung saja deh dengan perusahaan Ojol...

Aku ndak bisa, Om-G, saya ‘kan nggak punya SIM... Lha kalau seperti itu mah maka satu-satunya hal yang panjenengan boleh lakukan berkenaan dengan ojek adalah menjadi penumpang ojek, hehehe... Tapi bener, ‘kan? Selama masih di negara RI, mau di kota, di desa, kalau mengemudikan kendaraan bermotor ya harus punya SIM. Lha kalau nggak punya SIM, mau jadi pengemudi Ojol atau Opang pun dua-duanya nggak boleh!

Lha, trus bagaimana caranyanya menyaingi Ojol dan menang? Yé sabar dulu napa sih? Begini nih...

First of all (halah si Om-G gaya-gayaan amit sih? Wong tahu bahasa Inggrisnya cuma segitu-segitunya gitu kok dipake gaya-gayaan...). Yo wis, aku ganti deh bahasané...

Tahap pertama, kita harus tahu tentang apa saja, sih, yang dimaui ato diinginkan oleh para konsumen ojek. Mungkin ini nih:

  1. Aman (pengemudi ndak ugal-ugalan, dan penumpang langsung dibawa ke tempat tujuan, ndak ke jurusan lain... Kalau memungkinkan mah bisa “dilacak” a.k.a. “traceable”).
  2. Aman juga diartikan bahwa konsumen diberi (eh dipinjami) “APD” alias “alat pelindung diri” berupa helm dan jas hujan.
  3. Cepat, artinya waktu antara kita nelepon dan Ojol (atau Opang) datang ndak terlalu lama. [Lha Piyé toh, Om-G, Ojol ‘kan on-line, Opang ‘kan ndak paké telepon atawa aplikasi internet? Sabar... ini nanti kita bahas...].
  4. Cepat juga berarti bahwa “waktu pengantaran”nya ndak butuh lama. Tapi tetap, jangan ugal-ugalan dan melanggar aturan lalu lintas. Ini mah mutlak! Bagaimana caranya? Sabar... ini juga nanti kita bahas.
  5. Ramah, jangan jutek gitu lho, tapi juga jangan bergenit-genit ya...
  6. Kitanya sebagai pengemudi ndak “mambu” a.k.a. menyebarkan bau tak sedap dari ketek ataupun dari jaket kita.
  7. Kondisi motor prima, artinya laik jalan (mesin, rem, dll.) dan bersih.
  8. Dan, last but not least, tarifnya jelas dan kalau bisa, murah.

Nah kira-kira begitu, ‘kan, hal-hal yang dimaui oleh para konsumen ojek?

Betul skalee... Itu mungkin adalah yang oleh para cerdik cendekia disebut sebagai syarat perlu atau syarat cukup. Lha tapi kalau mau mengalahkan Ojol, tidak cukup bahwa kita sebagai para pengemudi Opang hanya menyamakan service kita dengan Ojol.Kita mesti bisa memberikan service yang lebih daripada yang diberikan oleh Ojol. Kita harus memberikan layanan yang lebih dari itu, yang oleh para orang pintar disebut sebagai “layanan prima” alias “service excellence”.

Jadi, tahap ke dua, para Opangers harus tidak boleh kalah dari para Ojolers. Bagaimana caranya? Ayo kita bahas satu-satu ya...

  1. Ndak ugal-ugalan? Ini mah it’s amust atuh... Kita sebagai pengemudi juga harus sabar, ndak boleh gampang terpancing oleh situasi lalu lintas yang kadang “panas”... Dan yang jelas mah kita jangan mengemudi dalam keadaan mabok! Bagaimana dengan aspek “traceability” alias bisa dilacak? Tenang, bisa kok... dan ndak usah selalu mikir harus pake alat yang canggih macam GPS, walaupun ungkin tidak traceable betul, tapi lumayan lah... Misalnya dengan ramah kita menganjurkan penumpang kita untuk mengirim sms atau menelepon kepada keluarga atau temannya tentang data diri kita sebagai opangers, yaitu misalnya tentang nopol motor kita, nama pengemudi, dari mana ke mana, dan jam berapa berangkatnya. Nah, penumpang kita akan merasa lebih aman dan tentram, ‘kan? Karena data diri Opang pengangkutnya diketahui oleh dia dan oleh orang yang dihubungi olehnya. Kalau perlu kita bikin “name-tag” besar dari kain yang kita tempelkan di “jaket dinas” kita, di depan dan di belakang. Hal ini sekaligus “meng-iklan-kan” diri kita sehingga lambat laun menjadi dikenal, ‘kan? Lalu kita jadi lebih laris deh, ndak usah selalu terlalu bergantung dari giliran “narik”...
  2. Nomor dua ini mah mestinya sudah jelas ya? Oh ya, ada tambahan sedikit: Mbok yao, helmnya jangan bau, ya? Juga jas hujannya jangan yang sobek-sobek, dan ukurannya harus cukup untuk menampung penumpang yang “big size”... Modal dikit deh napa, ntar juga balik modalnya lebih cepat deh...
  3. Yang ini juga harus ngeluarin modal dikit: beli dong hp agar para calon penumpang, terutama penumpang yang puas dengan layanan kita sebelumnya, bisa menghubungi kita via telepon. (Makanya, walaupun ndak usah yang canggih-canggih, ponselnya yang jenis android deh ya, agar para calon sms penumpang bisa menghubungi kita dengan murah meriah via Line, WA, atau lainnya...). Nah, bagusnya “name tag” yang tadi disebutkan di butir satu di atas juga kita lengkapi dengan nomor telepon kita agar bisa dicatat oleh para calon pelanggan dan dimasukkan ke phone book di ponsel mereka. Percayalah, sering ada anggapan bahwa seseorang (atau warung atau toko atau tukang nasi goreng...) yang berani menampilkan “identitas”nya adalah orang bisa dipercaya atas kualitas produk atau  layanannya dan tidak takut untuk “dituntut” karena dia yakin bahwa layanan dia bagus dan tidak bermasalah... Jadi? Jadi, ya orang akan lebih memilih jasa layanan opang kita.
  4. Waktu pengantaran yang cepat berhubungan butir nomor 7 di atas (kondisi motor yang prima), butir nomor 1 (kalau mengemudi ugalan-ugalan, trus terjadi kecelakaan dan atau ditangkep Om Polisi, jadi lama dong... selain bahwa penumpang kita juga akan mengeluarkan kutukan dan sumpah tujuh turunan nggak akan memakai layanan kita lagi...), keterampilan mengemudi (pliss, kalau belum terampil mah jangan ngojek dong ya...), dan kita harus hapal rute perjalanan. Untuk hal terakhir ini kita bisa tanya orang di jalan, atau lebih bagus lagi, kita pakai saja aplikasi di ponsel kita yang bisa menujukkan jalan yang bisa kita temouh menuju alamat yang dituju. Nah jadi pembelian hp android yang disebutkan pada butir 3 juga berguna untuk penyelesaian masalah di butir 4, ‘kan?
  5. Rasanya sudah jelas.
  6. Agar tidak “mambu” ya jelas kita harus rajin mandi dan jangan lupa pake deodorant ya. Menurut Om-G sih kita nggak usah wangi wangi amat, yang penting adalah nggak bau... Lalu kita harus punya jaket lebih dari satu sehingga bisa dipakai bergantian karena harus dicuci setiap hari, supaya ndak mambu...
  7. Kondisi motor prima dan bersih? Ah ini mah masalah perawatan motor secara teratur (jangan lupa pakai sparepart yang ori ya? Biar awet...). Ndak masalah motor kita sudah agak sepuh, yang penting dirawat dengan baik. Ada jargon yang dianut oleh para pakar maintenance: tidak ada mesin/peralatan/kendaraan/pesawat yang tua, asal dirawat dengan prima... Bagaimana agar motor kita selalu bersih? Lha piyé sampéyan iki, sing koyo ngono kok ditakoni? Ya kita harus rajin mandiin motor kita setiap hari, plus rajin mengelapnya supaya selalu kinclong... Beres, toh?
  8. Bagaimana tentang tarif? Tahukah Saudara Opang, bahwa ini adalah salah satu hal yang sering dikeluhkan oleh para penumpang? (Halah halah... Iki Om-G ngomongé wis koyo pejabat dereng? Hehe ini mah cuma bcanda Om-Tante, bcanda...). Intinya mah kita jangan serakah! Bagaimana kalau tarif kita untuk rute yang sama maksimum adalah seperti tarif Ojol? Dan dengan begitu pun para Opangers sebetulnya menerima lebih besar, ‘kan? Bagaimana bisa begitu, Om-G? ‘Kan katanya tarifnya disama-in? Ya begitu, tapi kita sebagai Opangers ndak dipotong fee untuk pengelola Ojol, ‘kan? Dan ndak usah tawar menawar... Tahukah Saudara Opang bahwa tawar menawar yang sering Saudara lakukan itu suka bikin sebal para penumpang? (Wis... wis... Om-G, ojo ngimpi dadi pejabat... Iya deh, nDoro...).

Nah, kita sebagai Opangers sudah jadi setara dengan para Ojolers, ’kan? Trus bagaimana kita lebih unggul, Om? Begini lho, eh sini deh tak bisikin...

Sebetulnya Ojolers itu punya kelemahan lho... Seringnya antara penumpang dan pengemudi tidak saling mengenal, ‘kan? Dan rasanya penumpang juga tidak bisa memastikan bahwa pengemudi Ojol nya adalah seperti yang dia kehendaki. Nah mari kita manfaatkani ”fenomena” ini...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun