Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ojek dan Taksi Konvensional, Perlukah Dipertahankan?

25 Agustus 2017   11:42 Diperbarui: 25 Agustus 2017   12:17 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih ingat "gadget" yang bernama "pager" ? Pada masanya, mungkin sampai akhir tahun 1999-an, pagersempat berjaya. Orang-orang yang memakai pun merasa sudah sangat "gaya" bila memakai gadget tersebut. Pada saat di mana telepon hanya berupa "fixed phone" (telepon yang memakai kabel, di Indonesia provider nya ya hanya PT Telkom), pemakai pager bisa dihubungi "di mana saja", sehingga bisa sangat bermanfaat baginya. 

Caranya memang masih agak kurang  praktis: Orang yang ingin menghubungi si pemakai pagertadi harus menelepon provider pager, "membacakan" pesannya dan meminta operator untuk meneruskan pesan tadi ke pemakai pager yang dituju. Operator mengirim pesan tersebut kepada nomor pager yang dituju. Pesawat pager yang bersangkutan akan berbunyi "beep", si pengguna pager membaca pesan, lalu dia mungkin pergi ke telepon umum (yang pada saat itu ada di mana-mana), dan menelepon si pemberi pesan.

Nggak praktis banget ya? Memang nggak, tapi ya begitulah pada masa itu. Si pengguna harus membeli alat pager nya dan membayar biaya berlangganan yang lumayan per bulannya kepada provider (kalau tidak salah sebesar sekitar 200 ribu rupiah per bulan). Tapi begitulah, pada saat itu alat pager dianggap sangat bermanfaat, dan dengan harga alat dan biaya operasional yang lumayan terjangkau...

Pada saat itu ponsel harganya masih sangat fantastis, konon katanya pada pertengahan tahun 1980-an ponsel jaman itu (yang berukuran besar, bahkan masih memakai baterai sebesar accu motor, dan sama sekali belum memakai fitur-fitur seperti pada ponsel jaman sekarang), harganya setara dengan harga mobil baru kelas menengah, ratusan juta rupiah... Mahal sekali ya..?.

Tapi apa yang terjadi ketika "muncul" hp dengan harga yang lebih sangat terjangkau? (walaupun kartu perdana nya masih harus indentselama tiga bulan, dan dengan harga yang fantastis: pada tahun 1999 pada saat Om-G memiliki ponsel yang pertama, harga kartu perdana ponsel adalah satu juta rupiah sebuah). Walaupun fitur yang dimiliki hp masih sangat sederhana (hanya bisa dipakai untuk menelepon dan mengirim/menerima sms), ternyata ini sangat menghantam bisnis provider pager. Dan walaupun tarif pulsa telepon masih sangat mahal (kalau tidak salah sekitar 9 ribu rupiah per menit untuk menelepon, dan juga masih dikenai tarif "roaming" bila kita menerima telepon...), tetapi tarif sms sudah dianggap terjangkau. 

Akibatnya, bisnis pager langsung "nyungsep" dan tidak dapat ditolong lagi...

Bagaimana tidak, dengan tarif sms yang terjangkau, tanpa biaya abonemen (biaya berlangganan), dan yang lebih penting: jauh lebih praktis: Pesan langsung masuk ke ponsel yang dituju, tanpa harus melalui campur tangan operator manusia. Dan bisa langsung dibalas, tanpa harus mencari-cari telepon umum dulu...

Nah agaknya ini terjadi lagi sekarang. Perbincangan mengenai "friksi" antara ojek dan taksi konvensional versus ojek dan taksi online ternyata masih berlangsung... Ada sebagian masyarakat yang lebih menyukai (dan "membela") ojek dan taksi online, tetapi ada pula yang lebih memihak ojek (dan terutama taksi) konvensional.

Menurut Om-G mah perbedaaan pendapat itu sah-sah saja... Tetapi agaknya kita harus lebih mengedepankan kepentingan masyarakat yang lebih banyak daripada kepentingan segelintir orang, 'kan?

Agaknya tidak dapat disangkal bahwa ojek dan taksi online muncul dengan beberapa keunggulan dibandingkan dengan ojek dan taksi konvensional: tarif yang lebih murah, "daya jangkau" yang lebih fleksibel (pengguna ojek didatangi di tempat), tanpa tarif minimum seperti kalau kita memesan taksi konvensional melalui telepon, lebih bersifat "traceable"(sehingga bila barang kita tertinggal di taksi bisa kita "lacak"...), kendaraannya lebih "muda", dan sebagainya. Walaupun sebenarnya, dengan syarat-syarat tertentu, mungkin bisa saja para pengemudi ojek konvensional tadi menyaingi ojek online [Silakan baca tulisan Om-G yang terdahulu di: Para Pengemudi Ojek Pangkalan, Anda Bisa Menyaingi Ojek On-Line Kok, Begini Caranya...]. 

Dalam perkembangannya, ojek dan taksi online, yang disambut "dengan gegap gempita" oleh masyarakat pengguna, ternyata mendapat perlawanan dari para pengemudi ojek dan taksi konvensional (atau perusahaannya? Wah ndak tahu deh...). Di beberapa kota, dulu, ada demo penolakan, kadang-kadang disertai dengan tindakan main hakim sendiri: pemukulan pengemudi ojek dan taksi online serta perusakan taksi dan ojek online oleh para pengemudi taksi dan ojek konvensional. Yang menurut Om-G mah ini sudah merupakan "kezaliman", baik terhadap pengemudi ojek dan taksi online, maupun terhadap masyarakat pengguna... [Silakan baca tulisan Om-G yang terdahulu di: Disadari Atau Tidak, Ojek Pangkalan Telah Menzalimi Masyarakat Pengguna].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun