Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pemanfaatan Keahlian Pawang Hujan untuk Penanggulangan Bencana Kabut Asap Berbiaya Murah

30 Oktober 2015   06:01 Diperbarui: 30 Oktober 2015   07:21 5496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Lha kok absurd betul pemikiranmu, Om-G? Apa nggak salah nih, Om-G percaya gitu, bahwa para pawang hujan dapat “dimanfaatkan” untuk menanggulangi kabut asap? 

Lha begini, sampai sekarang ‘kan konon masih cukup banyak orang (atau “Panitia” suatu kegiatan perayaan atau acara) yang memakai jasa (para) pawang hujan agar pada saat acara berlangsung tidak terjadi hujan di tempat acara dan sekitarnya tersebut. Nah kalau itu betul, kita minta saja mereka, para pawang hujan tadi, bukan hanya untuk membuat bahwa di sekitar tempat itu tidak turun hujan, melainkan mereka kita minta untuk “mengarahkan” awan hujan yang mestinya (tadinya) akan menurunkan hujan di situ ke arah tertentu. Misalnya ‘kan kita dengar bahwa di Propinsi NAD malah pernah hujan yang kemudian menimbulkan banjir. Nah mestinya di NAD tadi kita kerahkan saja para pawang hujan untuk mengarahkan awan hujan tadi, katakanlah ke arah Riau, lalu di Riau lah hujannya turun, yang sekaligus memadamkan kebakaran yang menimbulkan kabut asap. Beres deh...

Lha ‘kan jaraknya jauh, Om-G? Yé, itu sebabnya Om-G bilangnya “para pawang hujan” (jamak, a.k.a lebih dari satu), bukan cuma “pawang hujan” (tunggal). Jadi maksudnya begini: misalkan “kesaktian” masing-masing pawang hujan tadi hanya bisa memindahkan awan sampai jarak dua kilo meter, ya sudah, “pasang” saja satu orang pawang hujan berderet-deret dari NAD ke Riau, dengan jarak masing-masing dua kilometer.
Nah, beres ‘kan? Di NAD tidak menimbulkan banjir, karena awan hujannya dipindahkan dari situ, trus di Riau juga orang-orang menjadi berbahagia karena terjadi hujan yang deras dan banyak, yang memadamkan api kebakaran dan membuat kabut asap menghilang, atau paling tidak, menjadi menipis...
Dan upaya ini pasti murahnya, tidak akan sampai berbiaya ratusan milyar rupiah. Katakanlah satu orang pawang hujan diberi honor 200-500 ribu rupiah, ya tinggal dikalikan tuh dengan jumlah pawang hujan yang dikerahkan, dikalikan lagi dengan berapa kali hal itu dilakukan...
Lho, memangnya bisa gitu, dilakukan seperti itu, Om–G? Ya nggak tahu. Anggap saja begitu deh ya...

Tapi konon katanya pemikiran-pemikiran aneh bin absurd seperti itu kadang-kadang diperlukan juga sebagai ide awal, yang mungkin baru berpuluh tahun kemudian bisa direalisasikan... Ibaratnya begini: kalau dulu tidak ada “orang gila” yang memimpikan bahwa manusia bisa terbang, barangkali sampai sekarang nggak bakalan ada orang yang ke mana-mana memakai pesawat terbang. Bahkan ada penulis novel, kalau tidak salah adalah Jules Verne, yang memimpikan perjalanan ke bulan, dan beberapa puluh tahun kemudian barulah terlaksana.
Lha siapa tahu ide ini juga bisa direalisasikan seperti itu...

Bagaimana caranya? Supaya kelihatannya ilmiah, kita lakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ”keilmuan” itu. Lha kok aneh, mana ada ilmuwan yang merangkap sebagai dukun atau dukun yang merangkap sebagai ilmuwan peneliti? [Kalau ada, julukannya “Profkun” barangkali ya, sebagai saingan dari istilah “terkun” yang dulu pernah merebak di Indonesia...]. Yé, dulu ‘kan accupuncture pun dianggap tidak ilmiah, tapi lama-lama mah ‘kan diakui, dan bahkan kalau tidak salah mah sudah masuk ke Fakultas kedokteran segala (di Indonesia mah mungkin belum terlau lama, tapi di Prancis mah yang begini sudah sejak puluhan tahun yang lalu...). Dulu banget malah konon “keinsinyuran” a.k.a engineering juga hanya dianggap sebaai keahlian pertukangan, tidak dianggap sebagai keilmuan...

Jadi why not juga kalau “keilmuan pawang hujan” kita teliti. Jangan-jangan suatu hari mah dia masuk sebagai salah satu bidang penelitian yang dilakukan oleh BPPT.

Begini, pernah dengar nggak bahwa di Rusia sejak bertahun-tahun yang lalu dilakukan penelitian-penelitian terhadap orang-orang tertentu yang bisa menggerakan benda-benda dengan kekuatan pikirannya, bukan dengan menyentuhnya (telekinetik atau apa namanya ya?). Nah di Indonesia kita tiru saja.Mirip seperti di Rusia tadi, kita kumpulkan para pawang hujan, trus suruh mereka melakukan brainstorming untuk saling berbagi pengalaman dan berbagi “kesaktian”. Selanjutnya dilakukan penelitian-penelitian agar “kesaktian” dan kekuatan para pawang hujan tadi bertambah, sehingga misalnya mampu memindahkan awan hujan sejauh 5 kilometer, alih-alih 2 kilometer seperti sebelumnya. Nah ini yang namanya penghematan...
Kalau perlu, kita bikin deh “Sekolah Tinggi Pawang Hujan” untuk menghasilkan para lulusan yang kesaktiannya tinggi. Lha buat apa banyak-banyak pawang hujannya, Om-G? Ah ya kepalang menghayal, kita misalkan saja mereka itu kita “ekspor” sebagai tenaga ahli (dengan expertise yang tadi itu: memindahkan awan hujan) ke negara-negara lain yang membutuhkan, baik yang takut kebanjiran karena kebanyakan hujan ataupun yang memerlukan mereka karena ingin menghijaukan gurun-gurun...

Eh di dalam negeri pun mereka tetap diperlukan selain untuk memadamkan kebakaran hutan dan menanggulangi kabut asap, yaitu mungkin mereka bisa diberdayakan untuk “menjatuhkan” hujan di wilayah genangan waduk Jatigede misalnya, agar waduknya lebih cepat penuh sehingga lebih cepat pula menghasilkan listrik, lebih cepat bisa mengairi sawah tadah hujan, lebih cepat bisa dipakai sebagai tempat wisata, dan sebagainya...
Nah kalau sudah begini, rasanya tidak berlebihan kalau dibentuk sebuah BUMN yang mengurusi masalah operasional “Sekolah Tinggi Pawang Hujan” tadi plus “menyalurkan” dan “menyewakan” para lulusannya. Dan jadilah di Indonesia kita tidak akan pernah lagi kebanjiran atau kekeringan, plus mendapat devisa melimpah dari penyewaan para certified pawang hujan tadi ke luar negeri, sehingga negara kita tercinta menjadi negara yang subur makmur gemah ripah loh jinawi...

--- --- ---
Bangun Om-G, bangun...
Lho yang tadi itu mimpi ya? Lha kirain beneran, ‘kan jadi bisa mempercepat penanggulangan kabut asap dan mendapatkan devisa melimpah...
Sekian dulu dari Om-G. Doain Om-G agar bisa jadi novelis fiksi ya...

Cerita non-fiksi tentang bagaimana upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk penanggulangan agar tidak terjadi lagi masalah kabut asap di tahun-tahun yang akan datang, insya Allah akan segera Om-G tulis dalam waktu dekat, mudah-mudahan bisa diposting pada minggu depan. Judulnya kira-kira akan seperti ini: “7E-1M: Upaya Holistik Terintegrasi untuk Mencegah Terulangnya Bencana Kabut Asap Di Masa yang Akan Datang. Selamanya”. Tunggu tanggal mainnya yaks...

Salam, bon weekend...
Om-G
[Kompasiana.com/Om-G]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun