Orang-orang Tionghoa kaya menikmati pipa opium di rumah mereka dan di klub-klub opium pribadi sedangkan yang dari golongan ekonomi kurang mampu, mengisap opium di pondok-pondok umum dengan penduduk setempat. Orang -orang Jawa membeli opium dengan penghasilan mereka sebagai kuli perkebunan, pedagang kecil serta pekerja rendahan dan dari hasil pejualan hasil ladangnya.
Ahaaa, sepertinya kami menjadi penguasa di jalur candu ini! Terbukti, tak satu pun jung/perahu yang berpapasan dengan perahu kami membuat imaji menari-nari membayangkan kejayaan 2 – 3 abad yang lampau.
“Naaaah, itu pintu belakang rumah candu!” seruan pak Yon dari Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (Fokmas) yang menemani perjalanan senja itu membangunkan dari lamunan. Tak lama, karena saya kembali membaringkan tubuh menikmati dekapan sang bayu yang menyentuh permukaan kulit dengan lembut membuat mata merem melek hingga perahu mencapai mulut muara. Samudera raya terbentang di depan mata. Kami beristirahat sejenak menikmati matahari tenggelam sembari sesekali melemparkan tanya pada dua lelaki yang sedang memancing di pinggir sungai serta seorang ibu yang sibuk membuat tanggul pasir. Jelang maghrib, kami beranjak dari Lasem kembali ke Rembang untuk bersih-bersih.
Malam menjemput, gerimis masih turun satu-satu saat kaki melangkah memasuki pekarangan rumah seribu pintu, rumah candu! Yes, malam ini kami mendapat undangan untuk berpesta di rumah candu! Bukan, bukan untuk menikmati pipa-pipa pembangkit khayalan namun untuk menikmati alunan musik peranakan sambil mencicipi soto Lasem. Tanpa kuasa menampik 3 (tiga) mangkok soto silih berganti tandas, menghalau dingin dan menghangatkan perut.