Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menjadi Orang Indonesia dengan Nama Indonesia

2 Februari 2023   06:31 Diperbarui: 2 Februari 2023   13:22 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar (Unsplash, Daniel Thomas)

Saya kagum pada orang-orang Jepang dan Korea.

Bukan karena mereka maju, sejahtera, atau pintar. Dalam konteks tulisan ini, Bukan. Bukan itu. Meski mungkin hal-hal itu juga terkait dengan apa yang akan saya bahas.

Saya kagum kepada mereka karena rata-rata -- jika bukan mayoritas -- penduduk dari kedua negara itu memiliki nama lokal mereka sendiri, alias nama-nama yang berasal dari bahasa ibu mereka. Kalau pun ada yang memiliki nama kebarat-baratan, nama-nama dari kitab suci, atau yang terkesan religius, rasanya hanya segelintir saja. Perhatikan saja nama-nama orang Jepang dan Korea yang muncul di berita, media sosial, atau yang kita kenal langsung. Rata-rata ya pasti khas sono.

Berbeda dengan di Indonesia. Sejak kecil sampai dewasa pun, nama teman-teman saya sudah kebanyakan berbau-bau asing. Veronika, Samuel, Richard, Lusiana, Sherly, Juliana, Abdulah, Ibnu, Ahmad, Khairunisa, Layla, dsb. Ada sih nama-nama yang pribumi atau lokal. Tapi, jarang.

Mungkin, hal itu disebabkan karena dulu saya tinggal di Jakarta, yang notabene merupakan kota metropolitan dan memiliki budaya yang relatif terbuka dengan pengaruh dari luar. Kemungkinan besar, itu tidak terjadi di daerah terpencil dan pelosok. Meski, tampaknya di sebagian besar wilayah Indonesia Barat dan Indonesia Timur pun, bahkan di daerah yang terpelosok, nama-nama orangnya tetap cenderung berbau religius, entah karena pengaruh kolonial atau keyakinan yang mereka anut.

No offense. Saya pikir semua orang berhak memilih nama yang terbaik untuk anaknya menurut pandangan dan pemikiran mereka. Banyak orang menganggap nama merupakan suatu bentuk doa dan harapan, dan sudah pasti semua ingin memberikan doa dan harapan terbaik kepada anak mereka. Soal kemudian pilihan nama itu berbau asing atau kental dengan nuansa religi, ya lagi-lagi itu persoalan selera atau pemikiran dan keyakinan yang dianut. Dan, itu sebenarnya sah-sah saja.

Tapi, pertanyaan saya adalah, mengapa ya sejak dulu, setidaknya sejak era saya, banyak orang lebih suka memakai nama-nama asing, dibanding nama-nama dari bahasa lokal kita sendiri? Apakah karena mereka berpandangan nama-nama asing itu lebih keren, lebih bagus, lebih menarik, lebih populer, lebih religius, atau punya makna yang lebih baik? Atau, lebih serius lagi, karena kita agak (kalau tidak mau dibilang minim) lemah dalam hal literasi sastra dan bahasa?

Maafkan kalau perkiraan saya kurang tepat, atau too simplified. Tapi, sungguh, fenomena ini sekarang makin merebak. Nama teman-teman anak saya semenjak TK hingga saat ini mayoritas berbau-bau asing. Padahal, kami tinggal di Solo yang harusnya sangat lekat dengan budaya dan tradisi Jawa. Bahkan, di desa-desa sekalipun pun, orang tua sudah memberi nama anak-anaknya dengan kultur kebarat2an atau ke-agama2-an ini, seperti: Vito, Ivan, Matthew, Paul, Sara, Michele, Sandra, Tasya, Karen, Michael, Raffa, Farel, Fauzan, Aliyah, Najwa, dsb.  

Padahal, nama-nama semacam Arga, Arsa, Ragnala, Arundaya, Gentala, Anantari, Naewari, yang berasal dari bahasa Kawi atau Jawa Kuno itu selain unik, cantik, dan sangat berkarakter untuk didengar, ternyata juga memiliki makna yang dalam, baik, dan indah. Cek saja artinya di Google.

Yah, sekali lagi, itu kembali pada selera, pemikiran, keyakinan, paham, atau pribadi masing-masing. Saya juga tak bermaksud mengatakan bahwa nama-nama pribumi itu lebih baik, lebih bagus, dan sebagainya. Semua pasti memiliki nilai dan keunikannya tersendiri.

Hanya, sayang sekali rasanya kalau pemilihan nama yang berasal dari luar itu didasari pemikiran bahwa nama-nama asing itu lebih keren, lebih bagus, atau bermakna lebih baik dibanding nama-nama dari bahasa lokal kita. Itu artinya sebagai bangsa kita tidak atau belum memiliki jati diri atau kepercayaan diri yang kuat pada budaya lokal kita sendiri. Kita masih minder untuk mengusung kepribadian asli kita, bahkan di antara bangsa kita sendiri.

Yang lebih menyedihkan adalah kalau pemilihan nama-nama asing itu terjadi karena banyak orang masih miskin pengetahuan atau literasi terhadap budaya atau bahasanya sendiri. Mereka tak tahu atau tak paham dengan keindahan dan kearifan dalam bahasa dan budaya lokalnya masing-masing.

Berbeda sekali dengan yang berlaku di Jepang dan Korea. Mereka bangga sekali pada identitas budaya dan bahasanya sendiri. Mereka tak silau untuk ramai-ramai latah memberikan nama-nama asing pada anak-anak mereka. 

Pada era di mana budaya barat mengemuka akibat sejarah panjang kolonialisme dan globalisasi, mereka tetap bangga dan mempertahankan jati diri mereka. Nama-nama mereka menjadi cerminan akan hal itu. Dan, kemajuan mereka sebagai bangsa di dunia saat ini kemungkinan besar juga tidak terlepas dari karakter, mental, serta identitas yang berakar kuat pada budaya dan nilai-nilai lokal yang mereka miliki.

Menjelang Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada 21 Februari nanti, kiranya tulisan ini bisa sedikit menyentuh kesadaran kita untuk makin memiliki kecintaan dan kepedulian pada bahasa Ibu dan literasi lokal kita. Jika bukan kita, siapa lagi?

Kalau mau menyelidiki lebih dalam, nama Arundaya toh tidak kalah keren, cantik, nyeni, religius, filosofis, bahkan unik jika dibandingkan dengan Alexander atau Alexandra. Kita hanya belum cukup dalam mengenal atau mencintai identitas kita sendiri. Padahal, ada banyak kearifan dan keindahan di sana.

Mari belajar, kenal, dan mencintai lebih dalam lagi budaya, bahasa, dan literasi lokal Indonesia. Semoga dari sana kita akan menjadi lebih Indonesia melalui preferensi kita untuk memilih nama-nama Indonesia bagi anak-anak kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun