Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamat (Tidak) Merayakan Natal yang Komersil dan Hedonis

5 Desember 2022   20:51 Diperbarui: 7 Desember 2022   08:44 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Natal (Unsplash, Jim Kalligas)


Pernah nonton film di mana tokoh utama (first lead) justru tenggelam dibandingkan karakter tokoh antagonis atau protagonis sekunder (2nd lead)? Kalau belum, tontonlah drakor alias drama Korea. Dalam serial drakor, pemirsa seringkali justru akan (dibuat) lebih terpikat dengan pesona sang antagonis atau second lead. Alasannya bisa beragam. Bisa karena faktor fisik, karakter, sifat, atau jalan ceritanya yang membuat penonton jadi jatuh hati pada si antagonis atau second lead. Si tokoh protagonis justru kalah pamor dan tidak menjadi tokoh favorit pemirsa, seperti halnya dalam kebanyakan film Hollywood.  

Nah, meski konteksnya berbeda, tetapi fenomena yang sama juga terjadi saat Natal. Dalam momen Natal, Tokoh Utama yang kelahiran-Nya kita rayakan, justru tenggelam dan kalah tenar dibanding tokoh fiksi dan ornamen Natal. Tidak percaya? Ketiklah kata Natal atau Christmas di Google, dan lihat yang tampil di sana!

Ya, dunia kini lebih mengaitkan Natal dengan Santa Claus, malaikat, pohon Natal, hadiah Natal, lampu Natal, bahkan snowman atau manusia salju! Lalu, lagu-lagu Natal macam All I Want for Christmas  atau Santa Claus is Coming to Town menjadi kian populer dan disukai dibanding lagu-lagu Natal rohani yang sungguh mengumandangkan berita Natal. Tidak ada lagi Kristus dalam Natal. Budaya dunia yang sekuler dan komersil makin menyingkirkan-Nya. Dan, kita malah makin terpesona pada hal-hal yang tidak terkait sama sekali dengan peristiwa kelahiran Kristus. 

Mungkin kebanyakan dari kita akan berkata, "Serius amat. Apa sih masalahnya? Yang penting kan gereja tetap merayakan Natal."  

Masalahnya, Natal bukan drakor. Masalahnya, kapitalisme telah mengambil alih Natal menjadi pesan untuk "berbagi dan memberi" dengan cara berbelanja habis-habisan, sementara hedonisme menjadikannya sebagai ajang pemuasan dan pemanjaan diri. Dan masalahnya, gereja dan orang percaya juga larut dalam kondisi tersebut sehingga tidak lagi mampu memaknai Natal secara benar.

Bayangkan begini: pada momen perayaan kemerdekaan Republik Indonesia, tidak mungkin 'kan kita merayakan kemerdekaan negara kita tanpa mengingat hal-hal penting sbb: narasi penjajahan yang berlangsung selama 350 tahun, perjuangan tokoh di berbagai daerah untuk melawan penjajahan, serta proklamasi kemerdekaan yang menandakan kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara merdeka di dunia? Hal-hal itulah yang identik dengan kemerdekaan negara kita!

Mosok kita merayakan kemerdekaan RI dengan berpikir bahwa kemerdekaan itu hanya sekadar tradisi yang diadakan setiap tanggal 17 Agustus di seluruh wilayah Indonesia, lalu mengumandangkan lagu-lagu dangdut bukannya lagu bertema kebangsaan atau perjuangan, serta lebih mengedepankan tokoh-tokoh mitos seperti Semar atau Gatotkaca, misalnya, dibanding tokoh-tokoh perjuangan nasional Indonesia. Semua itu tidak relevan dengan peristiwa kemerdekaan negara kita, melainkan malah mengaburkan makna dan tujuan penting dari kemerdekaan itu sendiri. 

Demikian pula halnya dengan Natal. Natal adalah peristiwa kelahiran Kristus yang menjadi perwujudan karya penebusan Allah bagi manusia di dunia. Itu bukan momen yang kita rayakan karena tradisi atau budaya nenek moyang semata. Natal bukan tentang Santa Klaus yang membagi-bagikan hadiah, apalagi sekadar ajang akhir tahun untuk berkumpul dan makan-makan dengan keluarga dan teman. Peristiwa Natal sama sekali tidak terkait dengan segala sesuatu yang selama ini menyeruak dalam papan iklan dan promo diskon yang menggoda kita dalam warna-warni "Natal" . 

Sebaliknya, Natal adalah momen di mana Allah yang transenden menjadi imanen. Natal merupakan bukti bahwa Allah adalah Pribadi yang tidak hanya berdiam diri saat melihat penderitaan umat-Nya, melainkan yang bersedia meninggalkan surga mulia dan berinkarnasi menjadi manusia di dunia fana. Natal adalah peristiwa kesediaan Kristus untuk menjadi Juru Selamat yang mati, tetapi kemudian bangkit dan menang. Natal adalah peristiwa penting yang mengubah sejarah dunia dan kehidupan, baik di dunia maupun dalam kekekalan, yang bahkan tidak dapat dikerjakan oleh peristiwa kemerdekaan sekali pun.


Karena itu, jika orang percaya sungguh memahami inti dari peristiwa Natal, kita seharusnya tidak mengikuti arus dunia ini dalam merayakan Natal. Kita tidak akan memandang Natal sebagai ajang untuk berpesta, kumpul-kumpul, atau acara tradisi semata yang malahan membuat kita terjebak pada hedonisme dan komersialisme Natal. Kita tidak akan terfokus pada pohon, ornamen, dan kado Natal serta menganggap Santa Claus sebagai tokoh Natal terpenting. Dan, kita tidak akan meniadakan Kristus. 

Sebab, apa artinya Natal tanpa Kristus? Dapatkah kabar baik Natal tersampaikan dengan menghilangkan Kristus, sekalipun kita menjadikan acara Natal sebagai ajang bhakti sosial untuk berbagi? Nope. Natal bukanlah Natal jika Kristus tidak ada di dalamnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun