Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Minimalis, Frugalis, atau Milenialis?

28 Juli 2021   19:19 Diperbarui: 2 Februari 2024   18:17 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gaya hidup menentukan seseorang dalam mengatur keungannya. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Tentu ada banyak kelebihan saat seseorang menganut gaya hidup ini. Hemat, ekonomis, ramah lingkungan, hidup yang berfokus, berkesadaran, dan tidak berlebihan, yang ujung-ujungnya sangat berperan pada kelestarian lingkungan hidup. 

Selain itu, para penganut minimalis juga dinilai lebih dapat mengembangkan kepuasan hidup karena meletakkan nilai atau value mereka pada hal-hal penting dan bermakna, bukannya pada benda-benda atau hal-hal semu, yang menghabiskan energi dan pemikiran tidak perlu.

Nah, tapi bukan berarti gaya hidup ini tidak memiliki sisi negatif. Dalam beberapa hal, cara hidup seperti ini justru dinilai kurang efektif, efisien, relevan, bahkan menjauhkan penganutnya dari tujuan mereka. 

Dengan memiliki sesedikit mungkin barang atau keterlibatan pada hal-hal, justru kaum minimalis akan memiliki banyak hambatan dan tantangan yang bersifat kontra produktif dan menghabiskan (lebih) banyak waktu, pemikiran, dan energi.

Mengapa begitu?

Begini, jika saya adalah seorang minimalis, maka saya hanya akan memiliki barang-barang yang benar-benar saya pakai dan butuhkan setiap hari, dalam jumlah yang hanya cukup bagi kebutuhan saya atau keluarga saya. 

Saya tidak akan memiliki satu jenis barang dalam jumlah banyak, bahkan kemungkinan besar saya tidak memiliki barang-barang yang lazimnya dimiliki dan dibutuhkan oleh mayoritas umum. Ini mungkin tidak menjadi masalah bagi saya sendiri yang sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. 

Namun, lain halnya jika ada tamu, teman, tetangga, atau kerabat yang datang dalam jumlah besar ke rumah saya. Keterbatasan barang dan sarana prasarana yang saya miliki di rumah justru akan menjadi hambatan bagi saya untuk menerima kehadiran mereka. 

Relasi sosial yang seharusnya menjadi salah satu hal penting dan bermakna bagi gaya hidup minimalis, malah akan kurang mendapat ruang dalam kehidupan kita karena ketentuan pakem dari minimalisme itu sendiri. 

Di negara-negara maju yang sudah bersifat individualis dan sangat menjaga privasi, gaya hidup minimalis mungkin tepat dan mudah untuk diterapkan. Namun, di negara yang masih memiliki relasi sosial kuat seperti Indonesia, gaya hidup minimalis sering kali justru berkesan dingin, kurang ramah, atau individualis dalam konteks tertentu.

Kasus lain. Jika saya menolak untuk memiliki stok barang di rumah, maka jika suatu saat saya kehabisan atau memerlukan sesuatu dan tidak bisa mendapatkannya di rumah, maka saya terpaksa harus membeli, mencari, atau menghabiskan waktu dan energi agar dapat segera mendapatkan barang tsb. Padahal, mungkin itu hanya masalah kehabisan pulpen, selotip, sabun, atau benang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun