Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka Itu Ketika Saya Mampu Melakukan Apa yang Tidak Ingin Saya Lakukan

14 Agustus 2020   18:04 Diperbarui: 16 Agustus 2023   23:34 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini, kita memperingati kemerdekaan RI yang ke-75. Meski dalam situasi pandemi dan ancaman resesi, tetapi kita mesti bersyukur untuk anugerah Tuhan ini. Ada banyak orang di dunia  yang sesungguhnya belum dapat merasakan kemerdekaan seperti yang kita miliki. Mereka masih terbelenggu dengan sistem pemerintahan, politik, sosial, budaya, paham, atau peperangan yang terjadi di negara atau wilayahnya. 

Mereka mungkin hidup dalam negara yang berstatus merdeka, tetapi tidak benar-benar mendapat kebebasan untuk hidup, bergerak, beraktifitas, menyuarakan pendapat, berekspresi, atau menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri.  Sebagai bangsa Indonesia, kita bersyukur hidup dalam negara yang memberi kita kesempatan, pilihan, maupun hak untuk menjadi manusia merdeka. 


Namun, jika mau berpikir lebih dalam, sungguhkah kita sudah benar-benar merdeka? Sudahkah kita benar-benar bebas seperti yang kita pikirkan?

Banyak atau malah mungkin mayoritas orang berpikir bahwa kebebasan atau kemerdekaan sejati itu artinya mampu melakukan segala sesuatu tanpa mengalami hambatan atau kekangan. Atau, dengan perkataan lain, kebebasan atau kemerdekaan sejati adalah suatu kondisi di mana kita bisa melakukan apa pun yang kita inginkan. Free as a bird. Bebas, sebebas-bebasnya.

Benarkah?

Nope.

Setidaknya, menurut ajaran iman yang saya anut.

Ajaran iman kami tidak memandang kebebasan itu sebagai suatu keadaan bebas secara mutlak. Sebaliknya, kebebasan dalam pemikiran seperti itu justru merupakan bentuk lain dari perbudakan.

What?

Ya, kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang kita inginkan sesungguhnya akan menjadi bentuk perbudakan dari nafsu diri yang justru akan menjadi jerat menuju kehancuran. Immanuel Kant mendefiniskan kebebasan yang mutlak sebagai kebuasan, karena kebebasan sesungguhnya memiliki definisi yang bersifat mengikat dan terbatas.

Bayangkan jika manusia bisa berbuat apa saja sekehendak hatinya! Kita semua berpotensi untuk menjadi diktator, tiran, atau monster mengerikan jika saja tidak ada hukum, aturan, atau hal yang membatasi kita. Apa lagi dengan natur berdosa, manusia cenderung akan melakukan banyak keputusan, pilihan, dan perbuatan yang akan merugikan sesamanya, alam, dan makhluk ciptaan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun