"Alhamdulillah, nak. Ibu ikut bahagia. Tetapi nak, apa kamu yakin kelanjutan kuliahnya bagaimana?" Lagi-lagi, ibuku mempertanyakan soal ini. Â Apa yang terlantas dibenakku soal perkuliahan buyar ketika ditegaskan pertanyaan itu.
"Ibu, tak perlu khawatir. Aku akan usaha semaksimal mungkin, ibu cukup mendo'akan aku ya." Jawabku mencoba menenangkan hati ibu.
Setelah dua bulan mengikuti kuliah melalui virtual, aku mulai lagi mencari beasiswa kuliah. Mengurus berkas-berkas sekolah untuk mengajukan beasiswa. Dan alhamdulillah. Aku lolos beasiswa di PTN. Rasa bangga ibuku melihat anaknya yang tak pantang menyerah demi kuliah tanpa biaya.
"Apakah perjuanganku selama ini hanya sia-sia? Ya Allah, apa ini sangat mustahil untuk aku?" pertanyaan ku yang dulu sering kali terbesit dalam lamunan kosongku. Air mata yang disebabkan kesedihan kini disambut dengan air mata kebahagiaan, sebuah pengumuman lolos beasiswaku membuat wajahku yang sempat suram ditimpa kesedihan kini menjadi wajah yang cerah berseri-seri bahagia. Dengan beasiswa ini, aku berusaha mempertahankan nilai indeks prestasiku yang menjadi kewajiban aku sebagai mahasiswa yang kuliah tanpa biaya.
"Enak ya Okta, kuliah di biayai tanpa mengeluarkan uang sedikitpun!"
"Toh dapet beasiswa dan kuliah di negeri karna orang susah"
Kalimat ini menyayat hatiku, menggoreskan luka dalam yang menyebabkan aku menangis dalam diam. Aku mencoba kuat dan tetap berusaha sebaik mungkin. Tak memperdulikan perkataan orang tentangku. Mereka tak tahu bagaimana perjuangan ini, perjuangan yang sangat rumit sekali melewati duri-duri yang tajam. Tetapi aku mengerti, bahwa aku memang bukan dari keluarga yang berada. Â Â Â
Andai aku disuruh memilih, kuliah dengan biaya atau kuliah tanpa biaya. Maka aku lebih memilih kuliah dengan biaya. Tetapi melihat kondisi ekonomi membuatku memilih kuliah tanpa biaya untuk meringani beban. Entahlah, andai mereka mengerti perjuangan ini bagaimana untuk bisa mempertahankan nilai indeks prestasi dan melewati berbagai rintangan.
Dan kini, aku sedang menjalankan kuliah dengan beasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mempertahankan IPK adalah hal yang tak mudah untuk pemuda yang masih suka bermain-main. Dengan begitu, aku belajar dari guru-guruku yang bisa memepergunakan waktunya sebaik mungkin demi mempertahankan IPK.
"Aku bisa, aku pasti bisa, dan aku akan terbiasa"
Terbiasa membagi waktu dengan efektif, mendepankan kuliah daripada urusan yang tak penting, dan mengurangi pergaulan-pergaulan yang mengarahkan ke jalan yang salah.