Mohon tunggu...
Oktavianna
Oktavianna Mohon Tunggu... Guru - mengutarakan hobby agar menciptakan diri untuk berliterasi

aku bisa, pasti bisa, dan akan terbiasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pentingkah Ridho Orangtua dan Guru?

29 November 2020   12:00 Diperbarui: 29 November 2020   12:04 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di suatu daerah, ada gadis cantik terlahir dari perekonomian yang kurang dan orang tua yang tunggal. Aku adalah Oktavianna yang lebih dikenal dengan sebutan Okta. Ayahku meninggal sejak aku umur 14 tahun, kabar duka yang menyelimuti diriku juga ibu dan kakaku. Kini aku tinggal berempat bersama nenek yang kian sudah sakit-sakitan. Aku sekolah di sebuah pondok pesantren tepatnya di tengah-tengah antara Depok dan Bogor. Selama 6 tahun, Aku menimba ilmu agama dan umum di pondok pesantrennya.

Aku sekolah tanpa biaya. Mana bisa? Ya, aku selalu mengakui bahwa aku bukan terlahir dari keluarga yang perekonomiannya baik. Tetapi aku tak pernah menggunakan status yatimku untuk berbelas kasih dengan orang-orang. Aku selalu mencari cara bagaimana aku bisa sekolah tanpa biaya keluarga. Dan akhirnya, Allah memang sangat baik. 

Jalan baik kian ku tempuh di pondok, belajar dan menghafal al-Qur'an sambil bantu ummi dan kyai juga menjadi kuli laundry bersama dua temanku yang perekonomiannyapun sama. Aku tak pernah malu, meski sering kali orang sekitar berkata "Mau saja, jadi pembantu gurunya". Kata-kata itu menjadi motivasi untukku, bahwa aku percaya ada keberkahan guru yang menjadi ridho untuk kita maju.

"Bagaimana kamu ingin jadi orang sukses, jika tanpa ridho guru?ingat! Keberkahan seorang guru akan menjadi kesuksesanmu di masa depan." Kata-kata itu yang sering kali kyaiku katakan untuk menggembleng santri-santrinya. Dengan itu, aku percaya. Akan ada langkah yang lebih baik dan maju untuk aku yang dulu hanya jadi kuli laundry.

Enam tahun aku lalui dengan hati yang ikhlas mengabdi dan membantu guruku di pondok pesantren yang aku tempati. Meski aku sempat diberikan cobaan penyakit sama Allah selama kurang lebih 4 tahun. Namun, aku tidak mempergunakan sakitnya untuk diam saja. Walaupun sedang sakit, aku selalu tetap tinggal di pondok. Tidak minta pulang selain check-up seminggu sekali.

"Pulang lagi nak ke pondok, jangan di rumah terlalu lama. Berdo'a aja untuk kesembuhanmu. Dan jangan tinggalkan tahajjud" kata-kata ibuku yang selalu mengingatkan aku ketika pulang kerumah saat jadwal check-up.

Ibuku adalah orang yang hebat dan kuat. Beliau selalu mengajari anaknya untuk berbakti dengan guru. Beliau tak pernah marah dan kesal jika lihat anaknya sedang melakukan pekerjaan di pondok yang mungkin di rumah jarang aku lakukan.

"Jangan mempergunakan status yatimmu nak, untuk meminta belas kasih orang-orang. Berbaktilah dengan orang-orang yang membantumu terutama kyai dan ummimu di pondok" Ibuku memberikan pesan ketika sedang menjenguk aku di pondok.

Ketika aku duduk di bangku SMA tepatnya kelas 3 SMA. Aku mulai menyusun rencana. Setelah lulus, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya, untuk bisa kuliah di negeri? Bagaimana caranya kuliah tanpa beban keluarga? Namun, di sisi lain aku tidak percaya diri bisa kuliah di negeri dengan perekonomian yang kurang. "Bayar kuliah pakai apa?" pertanyaan dariku untuk aku yang tidak tau diri, terlalu berharap tinggi menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri.

Selama satu tahun belakang ini, aku selalu mencari informasi terkait seleksi di perguruan tinggi negeri. Waktu luangku di pondok, aku gunakan untuk belajar contoh soal-soal untuk tes ujian masuk kuliah negeri. Uang sakuku aku simpan untuk beli kuota dan mengikuti beberapa ujian masuk negeri yang memerlukan biaya. Selain itu, aku mendekati beberapa guru dan alumni yang dulunya kuliah di negeri. Bertanya-tanya prihal cara lulus seleksi kuliah negeri. Dengan hatinya yang ikhlas, guru-guruku membantu proses belajarku untuk mengejar kuliah negeri.

Pesan-pesan motivasi dari guru-guruku adalah menjadi patokan langkahku untuk semangat maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun