Mohon tunggu...
Oktavia  Dwi iriyanti
Oktavia Dwi iriyanti Mohon Tunggu... Atlet - Mahasiswa

Semangat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mengenali Gangguan Pendengaran, Keterlambatan Kognitif Ringan, dan Kognitif Sedang

5 Desember 2020   14:55 Diperbarui: 5 Desember 2020   14:59 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Saya akan menjelaskan tentang gangguan pendengaran, keterlambatan kognitif ringan & Sedang. 

Pada dasarnya manusia berkembang melalui tahapan dan proses di kehidupan mulai
dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia. Pada tahapan lansia, manusia perlahanlahan mengalami kemunduran secara normal dari segala aspek termasuk penurunan daya ingat atau memori, gangguan bahasa, pemikiran, dan pertimbangan. Pada penuaan yang normal, tubuh dan otak akan mengalami perlambatan meskipun kecerdasan akan stabil,
fisik akan menurun, memori mulai melemah dan memerlukan waktu yang lebih lama dalam
memproses informasi. Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi sedini mungkin
mengingat peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Keterlambatan dalam diagnosis berarti pula terdapat keterlambatan untuk memulai
intervensi dan akan membawa dampak serius dalam perkembangan selanjutnya. Skrining
pendengaran pada bayi baru lahir dapat menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non invasive. Identifikasi gangguan pendengaran secara dini dapat dilakukan dengan cara mengamati reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana.
Pembahasan Gangguan kognitif ringan jika tidak ditanggulangi dengan tepat akan
mengakibatkan terjadinya demensia yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer atau kondisi neurologis lainnya. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2014, sekitar 46 juta jiwa yang
menderita Alzheimer di dunia. Angka ini akan meningkat 4 kali padatahun 2050
(Kementrian Kesehatan, 2016). 5-10 % orang yang mengalami gangguan kognitif ringan
memiliki progestivitas untuk menjadi demensia (Alzheimer society, 2014). Sebelum
terjadinya demensia, dimulai dari penurunan fungsi kognitif yang menuju kearah gangguan
fungsi kognitif. Gangguan fungsi kognitif merupakan masalah yang dihadapi oleh lansia
karena keterbatasan dalam melakukan aktivitas yang kompleks, penurunan fungsi memori, penurunan kemampuan berpikir seperti mengatur, merencanakan, pertimbangan, pembelajaran atau pendapat. Lupa merupakan salah satu tanda terjadi penurunan dari fungsi memori. Beberapa tanda terjadinya gangguan pada memori berupa lupa informasi penting seperti janji dengan orang lain, percakapan atau kejadian yang baru terjadi. Selain memori ada juga tanda-tanda yang lain yaitu lemah dalam kemampuan berpikir seperti kesulitan dalam menemukan kata-kata, sulit mengatur atau merencanakan, kehilangan kemampuan mengenali lingkungan, tidak mampu menyampaikan pendapat (Alzheimer Society, 2014).
Salah satu cara agar dapat memelihara fungsi kognitif pada lansia yang mengalami
gangguan kognitif yaitu dengan cara memberikan aktivitas fisik, dimana aktivitas tersebut berupa latihan yang membantu menjaga kesehatan dan kebugaran pada lansia. Latihan fisik secara terus menerus mempunyai keuntungan untuk lansia, yaitu dapat meningkatkan plastisitas otak dan pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel di otak. Hasil penelitian menunjukan bahwa gambaran otak individu yang melakukan latihan fisik dengan intensitas sedang dapat meningkatkan volume otak dibagian terpenting seperti memori, pengetahuan dan perencanaan yang signifikan dibandingkan individu yang tidak aktif. Latihan fisik meningkatkan penyambungan antara bagian otak dan memiliki fungsi kognitif yang lebih
baik. Hal ini memberikan kesan bahwa sel otak yang banyak dan saling terhubung dengan
yang lain membantu otak untuk berfungsi sangat efektif (Farrow et al., 2013). Ada berbagai macam latihan fisik yang telah terbukti efektif oleh lansia seperti latihan keseimbangan, mobilitas, aerobic, stretching dan strengthening (Dementia and Geriatric Cognitive Disorder, 2010). Multiple exercise lebih baik untuk meningkatkan fungsi kognitif
dibandingkan single exercise (Kueider et al., 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Nouchi
menunjukan adanya pengaruh pemberian latihan fisik berupa latihan aerobic, stretching dan strengthening dapat meningkatkan fungsi kognitf dengan lama pemberian latihan selama 4 minggu (Nouchi et al., 2012). Penelitian yang dilakukan William mengungkapkan bahwa
pemberian latihan berupa aerobic dan strengthening pada lansia yang dilakukan selama 6 minggu dapat meningkatkan kemampuan berjalan, meningkatkan VO2 max,
meningkaatkan aliran darah keotak dan meningkatkan fungsi kognitif. Perilaku-perilaku yang mempengaruhi perilaku belajar dapat berasal dari diri siswa itu sendiri atau merupakan sebuah perilaku yang muncul akibat adanya pengaruh dari pihak
lain. Bagaimana sikap guru dan cara mengajarnya ketika berada di kelas juga dapat menjadi salah satu hal yang berpengaruh terhadap perilaku belajar siswa. Kondisi fisik, minat, motivasi dan juga kepribadian dapat menjadi faktor lain yang mempengaruhi perilaku belajar siswa ketika berada di dalam kelas (Putri & Budiani, 2012:11). Anak-anak lebih suka melakukan tindakan atau perilaku sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu,
mereka sering menunjukkan perilaku marah, sering menentang dan menunjukkan reaksi
emosi yang tak terkendali atau agresif apabila ada orang lain yang melarang atau
menghalanginya dalam melakukan suatu tindakan atau perilaku.
   Dapat disimpulkan bahwa Gangguan pendengaran pada anak, Ketergantungan Obat,
Keterlambatan Kognitif Ringan, Keterlambatan Kognitif Sedang, Perilaku Menentang perlu
dideteksi sedini mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Identifikasi gangguan pada anak secara dini dengan cara
pengamatan reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan
peralatan yang sederhana, perlu difahami oleh semua profesi di bidang kesehatan yang
banyak menghadapi bayi dan anak. Penilaian fungsi pendengaran pada anak-anak
memerlukan pemahaman, latihan dan pengalaman klinis yang cukup luas. Hasil
pemeriksaan berdasarkan pengamatan tingkah laku anak terhadap stimulus suara sangat
dipengaruhi oleh keterbatasan perkembangan dan kematangan bayi atau anak. Dengan
demikian pemilihan jenis tes BOA perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masingmasing anak secara individu.

Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun