Mohon tunggu...
AC Oktavia
AC Oktavia Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar peduli

Memberanikan diri berbagi, setelah terlalu lama hanya mengeluh dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Trip

Mengejar Matahari di Bromo: Overtourism di Masa Pandemi

24 Juni 2021   03:08 Diperbarui: 24 Juni 2021   03:16 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pandemi COVID-19 dipublikasikan telah membunuh industri pariwisata semenjak kemunculannya tahun lalu. Berbagai destinasi wisata yang sebelumnya populer kini terpaksa menjadi kota mati tanpa wisatawan. Tanpa saya sangka, ternyata masih ada destinasi wisata yang mengalami overtourism atau kelebihan kapasitas pengunjung. Ya, saya terhenyak melihat padatnya wisatawan yang menikmati fenomena matahari terbit di Gunung Bromo di tengah masa pandemi yang melanda Indonesia.

Saya tahu diri, saya pun menjadi salah satu dari kelompok orang yang masih pergi berwisata di tengah pandemi. Awal bulan ini, saya mendatangi pernikahan kecil sahabat karib saya semasa kuliah. Karena merasa sayang dengan biaya tiket dan tes antigen yang sudah saya keluarkan, saya dan teman seperjalanan saya pun memutuskan akhir pekan di Malang sebelum kembali pulang ke rumah.

Setelah menghabiskan waktu sejenak untuk mencari informasi. Kami pun memutuskan untuk memesan open trip untuk perjalanan mengejar matahari terbit di Bromo. Kami rasa itu pilihan yang cukup aman karena destinasi kami berupa ruang yang cukup terbuka. Saat itu kami optimis dapat menjaga jarak dengan orang-orang yang ada di sekitar kami, kecuali rekan semobil kami.

Kelompok kami berangkat cukup pagi, pukul 02.00 pagi kami sudah menghangatkan diri di warung-warung dekat lokasi pengamatan matahari terbit. Seraya menghangatkan diri, kami menikmati teh hangat dan gorengan di sudut warung. Betapa kagetnya kami, ketika di setiap menit yang berlalu, rombongan demi rombongan wisatawan datang memadati warung dan jalanan. Pemandu kami pun bergegas mengajak kami pergi ke lokasi agar bisa mendapatkan tempat yang strategis.

Benar saja, sudah terdapat banyak wisatawan yang duduk dan mencari posisi untuk melihat matahari terbit. Awalnya kami merasa tenang saja menunggu, namun semakin mendekati waktu matahari terbit, makin sesaklah lokasi tersebut. Jangankan menjaga jarak 1-2 meter, saat duduk saya terinjak oleh banyak orang sedangkan saat berdiri saya langsung ditekan dari segala arah. Akhirnya tanpa menunggu matahari sungguh-sungguh terbit, saya mengajak rekan saya untuk turun. Saya tidak tenang berada di tengah lautan manusia di masa seperti ini. Apalagi beberapa diantaranya tampak tidak memakai masker dengan layak, sepertinya mereka merasa virus corona ikut ambil cuti saat mereka berlibur.

Syok dengan situasi yang sangat padat saya pun bergegas turun dan menunggu pemandu kami di tempat parkir. Benar saja, parkiran motor ternyata penuh terisi, sedangkan jeep berjajar di sepanjang jalan hingga lebih dari 1 km. Pantas saja, sesak sekali di atas! Saya dan rekan saya bertukar pandang, sepertinya kami membuat kesalahan memilih pergi ke Bromo.

Untungnya, pemandu saya lihai memilih lokasi berfoto di padang savana, pasir berbisik, maupun bukit teletubbies. Kami berada di titik-titik yang cukup jauh dengan kelompok lainnya. Paling tidak, kami bisa sedikit bernafas lega di tempat-tempat tersebut. Beberapa foto pun sempat kami ambil di sana. Sayangnya hal yang sama tidak bisa saya katakan ketika kami mengunjungi kawah.

Baru saja berjalan kaki sejenak selepas dari toilet, perjalanan kami diganggu oleh raungan sekumpulan motor. Saya kaget tentu saja, di lokasi dimana banyak kuda sedang berjalan santai membawa penumpang, para pengendara motor tidak tahu adat ini justru asyik meraungkan motornya sambil melemparkan pasir kemana-mana. Apalagi banyak dari mereka tampak jatuh tergelincir karena licinnya pasir, saya pun semakin was-was ketika melihat para pengendara motor ini berada cukup dekat dengan saya maupun kelompok pejalan kaki lainnya.

Setengah jalan menuju kawah, kami menyadari betapa ramai dan padatnya kawasan bibir kawah tersebut. Trauma dengan kondisi yang terjadi subuh tadi, kami pun memutuskan untuk turun tanpa melihat kawah. Ah, ternyata Bromo masih ramai sekali di situasi pandemi seperti ini. Kami pun pulang ke hotel kami dan segera membersihkan diri.

Meskipun perjalanan saya cukup singkat, fenomena ini masih membekas di benak saya. Di tengah santer berita mengenai pandemi, ternyata banyak masyarakat Indonesia yang terlalu merindukan udara bebas setelah lama terpaksa berdiam di rumah saja. Sialnya, mereka semua memilih opsi destinasi wisata yang sama dengan saya, berbasis alam, udara terbuka, bertema petualangan. Jadilah destinasi-destinasi serupa menjadi padat wisatawan, hal yang saya rasa tidak banyak terjadi di negara lainnya.

Kejadian overtourism ini sangat menarik karena terjadi pada masa kematian berbagai destinasi wisata karena pandemi. Di sisi lain, isu overtourism adalah masalah yang banyak dibahas sebelum pandemi, karena merusak banyak destinasi di berbagai belahan dunia. Kasus overtourism di Bromo ini semakin menunjukan betapa peliknya permasalahan ini, karena bahkan tidak berhasil dihentikan oleh pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun