Mohon tunggu...
Okky Oktora
Okky Oktora Mohon Tunggu... wiraswasta -

Terlahir dari keluarga yang kurang harmonis, mendidik hidup menjadi dewasa sebelum waktunya, tidak ada kasih sayang dan hidup tidak boleh manja. secara tidak langsung jiwa kecil merekam semua alur jalan hidup yang dialami selama ini, dan mencoba menuangkannya dalam bait-bait tulisan... tinta merah kehidupan...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Janji Cinta Bapak

15 Agustus 2015   15:28 Diperbarui: 15 Agustus 2015   15:28 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

“Lita, kok pagi-pagi sudah melamun?” Aku tersentak sesaat dari diamku saat terdengar suara Eyang Puteri menyadarkanku yang terlihat sedang melamun, “e..e..engga kok Eyang, Neng cuma lagi merhatiin pohon-pohon diluar.” Jawabku pada Eyang Puteriterbata sebagai alasan, “sudah sana mandi dulu, nanti airnya keburu dingin lagi.”Kali ini Eyang Puteri berkata sambil menyodorkan handuk padaku, dan tanpa menunggu Eyang Puteri berkata lebih banyak lagi akupun langsung mengambil handuk yang Eyang Puteri bawakan dan segera menuju kamar mandi.

Harus aku akui aku termasuk seorang yang beruntung, hidup diantara orang-orang yang begitu perhatian dan penuh kasih sayang, bagaimana tidak, hampir setiap pagi Eyang Puteri menyiapkan air panas untuk kupakai mandi, sebenarnya aku juga tidak enak harus merepotkan Eyang Puteri begini, sudah aku katakan pada Eyang agar tidak usah merebuskan air panas tapi tetap saja Eyang lakukan, sepertinya dimata Eyang Puteri aku adalah tetap gadis kecilnya yang walaupun sekarang usiaku sudah hampir 20 tahun diperlakukan seperti itu, Eyang Puteri tidak pernah terlihat marah, dia selalu tersenyum sehingga memberiku rasa nyaman didekatnya, saat aku berkata Eyang tidak usah repot-repot, Eyang selalu menjawab “tidak apa-apa, Eyang kalo kurang gerak suka engga enak badan.”, itulah hebatnya Eyang Puteri diusianya yang hampir 83 tahun tetapi masih terlihat sangat segar dan bersemangat, aku sendiri merasa malu yang masih muda tetapi malas-malasan.

Dan tentu yang paling aku banggakan adalah Bapak, Bapak adalah sosok idolaku, sosok panutan dan sosok pelindung dalam hidupku, rasanya terlalu cepat Tuhan memanggil Bapak, 2 hari yang lalu adalah tepat 100 hari dimana Bapak meninggalkanku dengan banyak kenangan manis dan nasehat yang baik yang tidak akan pernah aku lupakan, dan sebenarnya tadi saat Eyang Puteri menegurku, aku tidak sedang melamun, aku hanya sedang merindukan Bapak, yah merindukan sosoknya yang setiap pagi selalu paling awal bangun, lalu ia membangunkanku dengan begitu sabarnya saat aku malas untuk membuka mata dan malas untuk bangun sholat subuh, Bapak tidak pernah memarahi saat manja dan malasku datang, jika aku sedang begitu Bapak akan segera memelukku dan berbisik, “Neng anak Bapak yang cantik, pintar juga solehah, Neng engga mau kan lihat Bapak nanti masuk neraka, jangan malas sholat ya, ayo Bapak tunggu ditempat wudhu biar nanti sholat subuhnya berjamaah.” Kalau sudah begitu mana bisa aku tidak tergerak, cara mendidik yang Bapak lakukan padaku berhasil, tanpa ada kekerasan, aku sadar tidak bisa selamanya larut didalam kesedihan, kesedihan hanya akan membuat Bapak tidak nyaman disisi Tuhan, aku terima ini semua takdir yang sudah digariskan Tuhan yang harus kujalankan, terimakasih Tuhan telah Engkau kirimkan seorang yang luar biasa dalam hidupku.

***

Hanya satu hal yang tidak pernah aku dapatkan selama hidupku, itu adalah kasih dan sayang dari seorang Ibu, jangankan mendapatkan kasih sayangnya, untuk mengenal dan melihat wajahnyapun aku tidak pernah tau, setelah sekian lama aku baru terfikirkan kembali, siapa sebenarnya sosok Ibuku yah perempuan yang melahirkanku, karena selama ini yang aku tahu hanya ada dua orang yang begitu perhatian kepadaku yaitu Bapak dan Eyang Puteri, lalu dimanakah Ibu? Masih hidupkah ia, apakah tidak rindu padaku sebagai anaknya? Pertanyaan-pertanyaan macam itu yang selalu mengganggu dikepalaku, sebenarnya aku ingin memiliki keluarga yang utuh seperti teman-temanku, saat kelulusan sekolah dapat dirayakan bersama dengan kedua orangtua, saat sedih dapat bercerita padanya, tetapi aku tidak, lama sekali kusimpan pertanyaan seperti ini, dulu saat masih duduk disekolah dasar aku pernah menangis meminta pada Bapak agar aku diantar sekolah oleh Ibu, dan aku masih ingat saat itu Bapak terlihat terdiam lalu tidak berapa lama Eyang Puteri datang memelukku dan berkata padaku dengan lembut, “Neng ayo berangkatnya diantar sama Eyang dulu, nanti kalo Neng mau ketemu Ibu, Bapak pasti antar kalo Neng sudah libur sekolah, jangan nangis lagi, kasian Bapak nanti engga bisa tenang kerjanya kalo lihat Neng masih nangis, kalo Bapak engga bisa kerja nanti Neng engga bisa sekolah, engga bisa jajan juga engga bisa liburan buat ketemu Ibu, nah sekarang mau yah sekolah diantar Eyang Puteri.” Dan setelah kejadian itu rasanya aku benar-benar sudah tidak peduli lagi dimana sosok Ibu, karena bagiku Bapak sudah mewakili peran Ibu dalam segala hal, dengan lengan kekarnya Bapak selalu yang terdepan menyiapkan sarapan pagi untukku, mencuci dan menyetrikakan seragam sekolahku, mengantar dan menjemputku sekolah, menyelimuti saat dingin diwaktu aku tidur, sesibuk apapun Bapak, selalu ada waktu untukku, pekerjaan Bapak hanyalah seorang mekanik bengkel, Bapak sengaja membuka bengkel tidak jauh dari rumah, kata Bapak agar lebih mudah dan cepat pulang kerumah, akupun sering menghabiskan waktu menemani Bapak dibengkel, bermain-main kunci, obeng dan tang bahkan menumpahkan oli tidak jarang aku lakukan, jika sudah begitu aku hanya dapat menunduk dan berkata maaf dengan pelan pada Bapak, Bapak tidak marah padaku dia dengan sigap menjauhkanku dari genangan oli yang aku tumpahkan, lalu dia sendiri yang membersihkan tumpahan sampai kering, bengkel tempat Bapak bekerja tidaklah besar tetapi selalu ramai pelanggan, ada tiga mekanik lain yang membantu pekerjaan Bapak, aku mengenal baik ketiganya, Mang Aep, Mang Usin dan Mang Ahdan semuanya baik padaku bahkan aku sering bermain dengan Asni puteri dari Mang Aep yang kebetulan seumuran denganku, kami semua sudah seperti keluarga, mereka menghormati Bapak dan keluargaku, Bapak juga memperlakukan mereka dengan sangat baik dan sopan, benar-benar pembelajaran berharga dalam hidup yang aku dapatkan, akan tetapi rasa penasaran akan sosok Ibu tetap menguasai isi fikiranku.

Sudah dua minggu kuhabiskan waktu libur semester di Bandung, libur kali ini terasa begitu hampa tanpa Bapak, tahun ini jadi tahun terakhirku untuk menyelesaikan pendidikanku di Bogor, kulangkahkan kaki menapaki kebun yang sengaja Bapak sediakan untukku agar aku dapat mengimplementasikan pengetahuan yang aku dapatkan selama ini secara langsung dengan cara menyediakan medianya, begitulah Bapak, selalu memberi perhatian lebih tanpa aku minta, dia begitu detil memperhatikan apa yang aku perlukan, dikebun yang tidak seberapa luas ini, aku dengan leluasa mencocokkan apa yang telah dosen pembimbing ajarkan dalam kenyataan, Bapak sangat berharap aku menjadi pelopor metode pertanian modern, tanpa sungkan Bapak mencangkulkan tanah yang nantinya akan aku taburi benih, dan benih itu kini telah tumbuh dan dapat dinikmati hasilnya, ada beberapa jenis tanaman yang kutanam disini dari mulai kacang-kacangan, sawo, pisang, cabe, bahkan sebagain lainnya aku tanami padi, dengan begini analisaku lebih akurat dan hasil dari tugas kuliahku dapat dikatakan selalu memuaskan, akan aku buktikan pada Bapak, aku dapat menjadi apa yang dia harapkan.

Tinggal dua minggu lagi waktuku tersisa sebelum aku kembali dengan segala kesibukanku dengan tugas akhir dikampus, aku ingin menikmati benar liburan kali ini, setelah kepergian Bapak, dirumah ini aku hanya tinggal dengan Eyang Puteri, makan berdua, tidur berdua dan sholat berjamaahpun kini hanya berdua, dan seperti malam kemarin malam kali ini aku dekatkan letak tidurku disamping Eyang Puteri, terdengar lembut suara nafas Eyang puteri terdengar, aku benarkan posisi dan menyandarkan punggung pada bantal lalu mulai membuka pembicaraan, “Eyang sudah tidur?”

“belum.” Eyang Puteri menjawab singkat, “Eyang, boleh Neng bertanya?” aku berkata lagi pada Eyang Puteri.

“mau nanya apa Neng cantik, kok tumben minta ijin dulu.” Eyang Puteri menjawab sambil tersenyum dan kini dirinya bangkit dari tidur lalu duduk disampingku.

Aku membalas senyum Eyang Puteri, dan kini akupun turut dalam posisi duduk, lalu bertanya kembali, “Maaf ya Eyang kalau pertanyaan Neng salah, Neng masih penasaran sama Ibu, sebenarnya Ibu Neng orang mana, terus sekarang tinggal dimana, apa Neng sudah tidak punya Ibu, kalau memang iya kenapa Bapak tidak pernah bilang kalau Ibu sudah meninggal, mungkin Eyang Puteri tau tentang semua ini juga bisa jadi sumber jawaban dari rasa penasaran Neng selama ini.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun