Mohon tunggu...
Oki Titi Saputri
Oki Titi Saputri Mohon Tunggu... -

Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 2012 Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hukum sebagai Obat Koruptor

5 Januari 2014   16:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya kasus korupsi di Indonesia telah menyebar di berbagai Instansi dan masyarakat. Seperti wabah penyakit, korupsi menular dari berbagai intansi atau dari individu ke individu lain. Sehingga sulit menemukan obat mujarab, karena wabah penyakit sudah meneror semua orang.

Untungnya, Indonesia mempunyai sebuah instansi ganas yang tidak kenal bulu, dari mana asal dan etnisnya serta jabatannya apa. Intansi ini ibarat rumah sakit yang menampung semua masyarakat untuk segera diobati. Agar cepat sembuh dan normal kembali hidup sesuai aktivitas sebelum pasien terkena penyakit.

Setelah pasien di rumah sakit, perlu kiranya diberikan obat yang sesuai dengan penyakit yang diderita si pasien. Jika penyakit yang di derita pasien adalah serangan jantung atau kanker dengan podium empat. Maka sudah seharusnya pasien diobati atau dioperasi karena hanya itulah salah satu cara untuk menyelematkan pasien dari penyakit.

Dan akhirnya, kasus korupsi perempuan kader Demokrat mendapatkan hukuman setimpal dari perilaku koruptifnya. Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara terhadap Angelina Sondakh dalam kasus korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pada pengadilan pertama dan banding, Angelina mendapatkan hukuman 4,5 tahun, sedangkan majelis kasasi menerapkan pasal 12 A UU Tipikor dengan mewajibkan Angelina Sondakh mengembalikan uang suap Rp12,58 miliar ditambah 2,350 juta dolar AS yang sudah diterimanya.

Hukuman ini benar-benar obat mujarab terhadap pelaku korupsi. Selain itu, hukuman ini juga berdampak terhadap psikis koruptor lainnya. Dag dig dug dag! Begitulah kiranya bunyi jantung para koruptor yang masih berkeliaran dan dikenakan hukuman enteng. Ditambah lagi dengan hukuman berat LuthfiHasan Ishaq selama 18 tahun penjara, Djoko Susilo 10 tahun denda 500 juta sebuah fenomena seksi yang terjadi di negara hukum yang menunjukan Res Judicata (kekuatan hukum).

Tentu ini mengembalikan roh hukum yang berperikemanusian, sebab di tengah kemerosotan kekuatan hukum dan semakin merebaknya kasus korupsi akhirnya terjadi sebuah pencerahan hukum. Yang mana ketegasan, kekuatan hukum kembali pada rumahnya sendiri.

Meskipun hukuman yang dijatuhkan sudah memunculkan kekhawatiran pada para koruptor, hukum tidak boleh lengah.Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sudah mengakar dan terisolasi dengan kuat. Pola korupsi yang seperti ini sulit untuk ditemukan siapa dalangnya. Tentu Angelina Sondakh bukan aktor utama, ada “yang lain”! Dan pola hubungan yang terisolasi mengamini adanya kuasa prestise yang harus dijaga. Atau ada sebuah ststus kehormatan yang dilindungi oleh Angelina Sondakh. Weber menjabarkan konsep isolasionis ini dengan menunjukan ketidak berdayaan individu atau negara karena sebuah kuasa prestise yang harus mendapatkan penghormatan.

Semakin tegaknya hukum terhadap koruptor di Indonesia memang akhir-akhir ini mulai dirasakan masyarakat. Tetapi selain itu, perlu adanya perhatian lebih terhadap penegak hukum seperti aparat kepolisian, hakim dan jaksa. Sebanyak 297 kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, penegak hukum tersebut juga menjadi pelaku korupsi. Keadaan ini menjadi sangat ironis, sebuah penegak hukum malah menjadi aktor dari penghancuran hukum Indonesia.

Maka dari itu, Indonesia membutuhkan penegak hukum yang mempunyai integritas yang tinggi, terutama terhadap masyarakat. Rakyat membiayai penanganan kasus korupsi sebesar Rp 153,1 triliun. Artinya, kegiatan korupsi di negeri ini disubsidi oleh rakyat karena biaya penanganan rakyat mencapai Rp 168,19 triliun sementara nilai hukuman yang harus dibayar koruptor hanya Rp 15,09 triliun (Kompas, 02 Desember 2013)

Pasca Runtuhnya MK

Hukuman 12 tahun dan 18 tahun pada Angelina dan Luthfi Hasan Ishaq tepat setelah tertangkapnya mantan ketua umum Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar dalam kasus korupsi/suap Pemilukada. Ada yang mengganjal ketika melihat kronologis  kejadian tersebut. Sebuah trik, pencitraan hukum. Meskipun ini bukan jalan yang sebentar untuk memulihkan citra hukum Indonesia. Namun ada yang ditawarkan oleh MA dalam keputusan hukum. Ada apa dengan keduanya?

Ibarat dua mobil pembalap yang berada dalam sirklus pertarungan. Bertarung untuk mencapai titik finish lebih dahulu. Seperti biasanya, tidak ada pertarungan yang mengalah untuk kemenangan petarung lainnya. Bahkan, kancil pun meminta bertarung kembali dengan kura-kura karena kekalahannya dalam pertarungan berlari. Sungguh ironis jika keputusan hukum terhadap para koruptor hanya untuk menjatuhkan petarung lainnya. Dan tentunya jangan sampai jatuh tertimpa tangga pula.

Dalam konsep distribution of power, hakikatnya pembagian kekuasaan tidak lain menciptakan check and balance. Bukan untuk saling mendahului, apalagi menjatuhkan. Ingat, sesama penegak hukum di larang mendahului, tidak baik!

Terlepas dari keganjalan itu, hukum adalah panutan masyarakat yang bersifat preventif dan persuasif. Hukum mempunyai kekuatan bagi yang melanggar. Hukum mempunyai roh kemanusian, hukum mempunyai ketegasan untuk mengontrol setiap perilaku masyarakatnya. Hukum yang berperikemanusiaan adalah hukum yang bersifat adil dan tak pandang jabatan seorang. Apakah itu presiden atau rakyat jelata.

Jika hukum digunakan sebagai obat dan sasarannya tepat, tentu hukum akan menjadi alat memanusiakan manusia. Sebaliknya, jika hukum dijadikan legitimasi sebatas pencitraan, hukum tidak lain adalah proses dehumanisasi itu sendiri

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun