Mohon tunggu...
Oki Solikhin
Oki Solikhin Mohon Tunggu... Guru - Hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain.

Pemerhati dunia pendidikan dan IT. S2 Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Unnes.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengantisipasi Kecurangan Pilkada 2015

6 April 2015   13:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28 12407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dari dimulainya era perubahan paradigma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dari sentralistik menjadi desentralisasi. Salah satu dampak dari otonomi daerah adalah perubahan dalam tata cara pemilihan kepala daerah, dari tidak langsung menjadi pemilihan langsung.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) mengatakan bahwa pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 5 (lima) kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah akan dilaksanakan pada bulan Desember 2015. Kelima kabupaten/kota tersebut adalah kabupaten Pemalang, Grobokan, Demak, Sragen, dan Pekalongan. Berbagai persiapan mulai dilaksanakan baik oleh penyelenggara Pemilu (sesuai UU No.22/2007), Pemerintah Daerah (sesuai UU No.32/2004),Calon Bupati/Wali Kota, Tim Sukses, maupun masyarakat. Salah satu persiapan yang sedang dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini Bawaslu adalah perekrutan tenaga Panwaslu kabupaten/kota.

Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu bertugas mengawasi pelaksanaan Pemilu baik terhadap KPU maupun peserta pemilu (Parpol atau Perorangan) adalah lembaga yang independen dan otonom. Berdasarkan tingkatannya Bawaslu terdiri dari Bawaslu Pusat, Bawaslu Provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu Kecamatan, dan PPL (Pengawas Pemilu Lapangan) untuk tiap desa. Meskipun Bawaslu memiliki perpanjangan tangan sampai tingkat desa tetapi peluang untuk terjadinya pelanggaran pemilu tetap saja terjadi. Hal ini dikarenakan penyelenggara maupun peserta pemilu selalu mencari celah agar calon yang didukungnya memenangkan pertandingan meskipun dengan cara-cara yang tidak fair dan elegan, ditambah lagi sikap ambigu dari masyarakat enggan melaporkan terjadinya pelanggaran pemilu. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi timbulnya kecurangan-kecurangan pemilu perlu dilakukan tindakan antisipatif oleh pengawas pemilu.

Sebagaimana yang dikatakan Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (2009) dalam dalam bukunya Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, bahwa Pilkada yang demokratis mengharuskan adanya lembaga pengawasan yang independen dan otonom. Lembaga ini dibentuk untuk memperkuat pilar demokrasi, meminimalkan terjadinya kecurangan dalam pilkada sebagai inti tesis dari pembentukan pemerintahan yang berkarakter. Ciri- ciri utama dari pengawasan pilkada yang independen adalah (1) dibentuk berdasarkan perintah konstitusi atau undang-undang, (2) tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik tertentu, (3) bertanggung jawab kepada parlemen, (4) menjalankan tugas sesuai dengan tahapan Pilkada, (5) memiliki integritas dan moralitas yang baik dan, (6) memahami tata cara penyelenggaraan Pilkada. Dengan begitu Panwaslu Pilkada, tidak hanya bertanggungjawab terhadap pembentukan pemerintahan yang demokratis, tetapi juga ikut andil dalam membuat rakyat memilih kandidat kepala daerah yang merekah anggap mampu dan cakap.

Sebenarnya tidaklah terlalu sulit untuk mengatisipasi kecurangan-kecurangan pemilu asalkan pengawas pemilu mampu memetakan titik kerawanan pada pentahapan Pilkada dan yang tidak kalah pentingnya adalah membangun jaringan kerjasama dengan berbagai pihak.

Permasalahan

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang pembentukan Pengawas Pemilu diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, karena sejak reformasi bergulir, demokrasi belum dapat berjalan optimal, hal ini ditunjukkan dengan penurunan partisipatif politik masyarakat dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang permasalah di atas, muncul dua permasalah mendasar yang pelu kita bahas yaitu:

1.Dimana saja titik rawan tahapan Pilkada?

2.Bagiamana cara mengantasipasi kerawanan Pilkada?

Pemecahan masalah

Titik rawan pengawasan Pilkada terutama ada pada 3 tahapan yaitu: pendataan dan pemutahiran data pemilih, masa kampanye, dan prosespemungutan dan penghitungan suara.

A.Pendataan dan pemutahiran data pemilih

Titik rawan yang biasanya terjadi adalah:

1.Pemilih belum cukup umur

Kecurangan ini terjadi dengan cara memasukkan data pemilih yang belum berusia 17 tahun atau sudah kawin dengan tujuan memperbesar perolehan suara pasangan tertentu. Kegiatan ini bisa dilakukan pada level desa maupun KPUD, atau bisa juga karena data yang dikirim BPS (Badan Pusat Statistik) tidak akurat.

Antisipasi pengawasan yang perlu dilakukan adalah mengecek data kelompok umur ini dengan seksama.

2.Pemilih Meninggal Dunia

Ada kecenderungan pemilih yang sudah meninggal dunia secara sengaja tidak di-dellete agar surat suaranya bisa dipergunakan oleh orang lain, baik diberikan pada pemilih fiktif dari daerah lain maupun pemilih yang tidak terdaftar.

Antisipasi yang perlu dilakukan adalah ikuti terus perkembangan data kematian pada tiap-tiap desa dan segera laporkan pada PPS.

3.Pemilih ganda

Duplikasi pemilih sering dilakukan baik dengan menuliskannya secara ganda persis atau dengan cara mengubah identitasnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi pembengkakan jumlah pemilih dan surat undangannya dapat dimanfaatkan bisa dipergunakan oleh orang lain, baik diberikan pada pemilih fiktif dari daerah lain maupun pemilih yang tidak terdaftar.

Antisipasi yang perlu kita lakukan adalah sekali mencermati data tiap RT/RW bahkan disinkronkan dengan tingkat desa.

4.Pemilih fiktif

Pemilih fiktif adalah pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetapi orangnya tidak ada. Artinya ada nama pemilih yang terdaftar tetapi sejatinya orang tersebut tidak pernah atau bertempat tinggal disitu.

Antisipasinya lakukan pengecekan daftar pemilih sampai tingkat RT/RW setempat. Laporkan sebagaitemuan.

B.Kampanye

1.Benturan fisik

Pengkotak-kotakan dukungan terhadap calon Bupati/Wali Kota akan terjadi baik yang berskala kecil dalam satu rumah tangga, satu desa sampai satu kecamatan. Lebih parahnya adalah terjadi benturan fisik akibat pancingan-pancingan emosi yang dilakukan salah satu kubu pada saat masa kampanye yang menjurus pada tindakan pidana Pemilu. Menurut Topo Santoso (2006) tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu.

Antisipasi yang dapat dilakukan adalah dimulai dari penyadaran kepada para pemilih bahwapesta demokrasi bukan ajang mencari musuh tetapi lebih menghargai perbedaan pilihan diantara kita dan yang tidak kalah penting lagi adalah membangun kerjasama dengan GAKMUNDU terutama POLRI untuk bertindak tegas tanpa pandang bulu jika sudah terjadi tindakan pidana.

2.Black campaign

Black campaign dilakukan dengan cara penyebaran statement untuk penarikan simpati dari para pemilih. Padahal penyebaran itu bukan dari tim kampanye yang bersangkutan. Ada memang kelompok tertentu yang berpolitik secara tidak santun dengan cara membuat black campaigne ini dengan cara menghembuskan isu SARA, tetapi kita jangan lengah dan terjebak bahwa calon Bupati/Wali Kota yang terkena black campaigne adalah sebagai korbannya, karena beberapa kasus pemilu membuktikan bahwa justru pembuat black campaigne adalah tim suksesnya sendiri dengan tujuan agar masyarakat lebih merasa iba karena calonnya telah dianaiaya, meskipun memang ada black campaigne yang dibuat oleh kubu lawan.

Antisipasi yang perlu dilakukanadalah segera tarik selebaran black campaigne ini sebelum menyebar kemana-mana, jika perlu tangkap pelakunya dan dipidanakan.

3.Pemasangan alat peraga dan bahan kampanye

Pada masa kampanye pemasangan alat peraga kampanye dan bahan kampanye menjadi wajib bagi calon Bupati/Wali Kota dalam rangka mempromosikan visi, misi, dan program kerja calon Bupati/Wali Kota. Justru yang terjadi adalah masing-masing calon akan berlomba dan “perang” alat peraga dengan tidak mengindahkan aturan pemasangan alat peraga kampanye dan zonasinya. Hal ini terjadi karena memang pemasanga APK tidak memahami aturannya (karena tidak diberitahu oleh tim sukses) atau memang disengaja. “Perang APK“ ini sering kali menimbulkan berbagai benturan.

Antisipasi yang bisa dilakukan adalah segera tegakkan aturan pemasangan APK dan zonasinya. Segera tidak tegas pihak-pihak melanggarnya tanpa pandang bulu.

4.Netralitas PNS, TNI, POLRI, dan Kepala Desa

Tidak dipungkiri lagi netralitas PNS, TNI, POLRI, dan Kepala Desa patut dipertanyakan dalam Pilkada. Baik caranya dengan terselubung mapupun terbuka. Cara terselubung misalnya ikut menjadi penyandang dana untuk calon Bupati/ Wali Kota tertentu dengan imbalan jika calon Bupati/ Wali Kota yang didukung nantinya menang akan mendapat jabatan tertentu atau proyek tertentu. Ada pula dengan cara terang-terangan ikut kampanye dan mengerahkan massa. Biasanya para pejabat menggunakan “taring” kekuasannya dengan mengarahkan atau mengintervensi bawahannya untuk mendukung calon Bupati/ Wali Kota tertentu.

Antisipasinya awasi dan minta masukkan dari PNS pejabat mana dan mendukung siapa. Lakukan tindakan tegas jika ada pejabat yang ikut kampanye dengan aturan netralitas bagi PNS termasuk Kepala Desa.

C.Proses

1.Surat undangan tidak dibagikan

Ketika penyelenggara pemilu atau panitia pemilu sudah tidak netral maka yang terjadi adalah surat undangan bagi pemilih yang jelas-jelas berseberangan dengan pilihannya cenderung untuk tidak dibagikan.

Antisipanya lakukan pengecekan ke rumah-rumah apakah maksimal 1 hari sebelum hari pemungutan suara surat undangan sudah dibagikan apa belum, jika belum suruh yang bersangkutan meminta kepada KPPS setempat.

2.Money politic

Money politic biasanya dilakukan menjelang subuh sehingga disebut sebgai “serangan fajar”. Caranya memberikan sesuatu baik berupa uang atau barang agar yang bersangkutan memilih calon Bupati/Wali Kota tertentu. Politik uang (Money Politic) merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menjatuhkan lawan politik dengan cara-cara yang tidak benar, tidak sesuai etika, berbohong dan menyesatkan. Melalui Politik uang, dapat dikembangkan bahwa pemaknaan politik uang tidak hanya menekankan pada transaksional saja melainkan juga menekankan pada makna fungsional dengan memaknai uang dalam politik mempunyai fungsi bervariasi. Fungsi-fungsinya ialah sebagai: (1) modal politik, (2) biaya politik, (3) mendapatkan simpati dan (4) alat tukar yang bersifat transaksional untuk mendapatkan suara pemilih (Abdul Muklis, 2009).

Antisipasi dapat kita yang dilakukan adalah awasi posko-posko tim sukses dan tangkap pelakunya beserta barang buktinya.

3.Pemilih siluman

Pemilih fiktif atau siluman adalah pemilih yang sebenarnya tidak tercantum dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) tetapi dapat secara legal menggunakan hak pilih. Hal ini terjadi karena adanya kerja sama dengan penyelenggara pemilu untuk memenangkan calon Bupati/Wali Kota tertentu. Caranya beragam mulai dari pembuatan KTP Aspal (asli tapi palsu), menggunakan daftar pemilih ganda atau meninggal, sampai menggunakan surat undangan atau surat suarayang tidak terpakai. Biasanya terjadi pada daerah-daerah dengan pengawasan yang kurang.

Antisipasi yang harus dilakukan adalah mengawasi secara ketat daerah-daerah perbatasan dengan kabupaten/kota lain, serta TPS terisolir dan jangan lupa kerjasama dengan para saksi pasangan calon Bupati/Wali Kota.

4.Pembelian kartu pemilih

Cara arogan yang sering dilakukan oleh tim sukses atau oknum tertentu adalah membeli/membayar surat undangan pemilih. Caranya membeli/membayar surat undangan pemilih dengan sejumlah uang agar pemilih lawan tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini biasanya dilakukan didaerah basis calon dukungannya tetapi ada beberapa pemilih yang beda pilihannya.

Antisipasinya lakukan pengawasanpada daerah rawan ini, suruh laporkan jika ada oknum yang melakukan hal ini.

5.Surat suara ilegal

Dilakukan dengan cara menggandakan surat suara sebelum hari pemungutan suara atau KPPS sengaja memberikan surat suara lebih dari satu kepada pemilih.

Antisipasinya selalu awasi KPPS pada saat memberi surat suara.

D.Tungsura

1.Suara sah dan tidak sah

Ada surat suara yang tidak sah tapi dihitung sah atau sebaliknya. Ada pula surat suara sah tapi dirusak biar tidak sah. Oknum pelaku yang memiliki kesempatan ini adalah penyenggara pemilu.

Dalam hal ini antisipasi yang dapat dilakukan adalah kejelian pengawasan yang dilakukan pengawas pemilu dan saksi sangat dibutuhkan.

2.Beda jumlah pemilih dan surat suara

Sering kali terjadi jumlah pemilih yang hadir dan jumlah suara yang diperoleh berbeda. Hal ini terjadi karena penyelenggara pemilu tidak menghitung terlebih dahulu jumlah surat suara yang telah dicoblos oleh pemilih sehingga hasilnya bisa berlebih atau berkurang. Ketika terjadi perbedaan jumlah biasanya penyelenggara pemilu melakukan jalan pintas dengan cara mengurangi surat suara dan jika terjadi kekurangan biasa penyelenggara menambahkan pada suara rusak. Sesungguhnya ini sangat merugikan salah satu calon.

Langkah krusial antisipasi yang harus dilakukan pengawas adalah meminta KPPS menghitung surat suara dan hasilnya hasru sesuai dengan pemilih yang hadir menggunakan hak pilihnya.

3.Manipulasi perolehan suara

Manipulasi perolehan suara biasanya terjadi karena ketidakjelian saksi dan pengawas. Apalagi biasanya saksi disuruh terlebih dahulu menandatangi lembara berita acara dan sertifikat penghitungan suara. Jika ini terjadi maka sangatlah mudah bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan manipulasi perolehan suara.

Antisipasi yang harus dilakukan adalah Saksi/Pengawas jangan menandatangani dulu hasil pemungutan suara sebelum proses penghitungan suara selesai. Kawal hasilnya sampai tingkat di atasnya, misal dari KPPS ke PPS.

Penutup

a.Kesimpulan

1)Pilkada dapat berlangsung LUBER dan JURDIL jika penyelenggara pemilu bersikap profesiona, independen dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya pengawasan pemilu yang efektif.

2)Antisipasi pelanggaran Pilkada terutama pada 3 (tiga) tahapan Pilkada yaitu: pendataan dan pemutahiran data pemilih, masa kampanye, dan prosespemungutan dan penghitungan suara.

3)Pengawas Pemilu harus memahami titik rawan pelanggaran Pilkada dan segera melakukan langkah-langkah antisipatif.

b.Saran

1)Pengawas Pemilu harus membangun kerjasama dengan Tim Sukses Calon Bupati/Wali Kota dan saksi, media massa, ormas serta pihak-pihak yang terkait untuk menghasilkan pengawasan yang efeltif

2)Diharapkan sebaiknya Panwaslu diberikan kewenangan yang lebih luas untuk menjalankan tugasnya sebagai pengawas pemilu misalnya seperti kewenangan eksekutorial untuk menyelesaikan sengketa pemilu baik itu pemilu legislatif maupun pemilukada sendiri. Karena kewenangan Panwaslu Provinsi yang diatur di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyebutkan “panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang untuk mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikaan kepada instansi yang berwenang dan mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan” dirasakan oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum sendiri masih belum luas.

Daftar Pustaka

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar HTN Indonesia. Jakarta. CV. Sinar Bakti. Pusat Study HTN Fakultas Hukum UI. hlm. 329.

Muklis, Abdul. 2009. Politik Uang dan Demokrasi di Indonesia: Studi Kasus dalam Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPRD Kabupaten Bangkalan Periode. Thesis pada jurusan Ilmu Politik pada FISIP Universitas Air Langga Surabaya.

Sahdan, Gregorius dan Muhtar Haboddin.  2009. Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia. Yogyakarta.

Santoso, Topo. 2006. Tindak Pidana Pemilu. Jakarta. Sinar Grafika. hlm. 5.

Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Perbawaslu RI Nomor 19 Tahun 2009, Pengawasan Pilkada

Perbawaslu RI Nomor 20 Tahun 2009, Tata cara Pelaporan dan Penangan Pelanggaran Pilkada

Perbawaslu RI Nomor 21 Tahun 2009, Pengawasan Pemutakhiran Data Pemilih dan Penetapan Daftar Pemilih Tetap dalam Penyelenggaraan Pilkada

Perbawaslu RI Nomor 23 Tahun 2009, Pengawasan Kampanye Pilkada

Perbawaslu RI Nomor 24 Tahun 2009, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pilkada

Perbawaslu RI Nomor 25 Tahun 2009., Pengawasan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pilkada

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun