Aku yakin, Surti juga orang seperti istri Karyo. Surti pernah mengatakan itu padaku saat aku menawarkannya tempat di hatiku. Dia bilang bisa hidup susah bersamaku. Tapi tak lama dia justru menyampaikan kabar akan dinikahkan dengan anak lurah. Aku patah hati tapi juga tahu diri.  Â
"Mungkin saatnya aku merantau," kataku tiba-tiba.
Karyo tampak kaget mendengarnya. Sebagai sesama pemuda malas yang takut berjuang di kota orang, dia mungkin berharap aku bisa terus dengannya. Tapi kupikir-pikir, melihat Surti terus-terusan hanya membuatku semakin tak mau beranjak maju dari hidup saat ini.
      Ya, mendadak tekatku bulat. Waktu dua puluh tahun yang diberikan Tuhan, adalah bonus besar yang bahkan tak bisa dirasakan bayi yang makamnya sudah kusiapkan ini.
      "Aku pulang dulu, mau ketemu Surti," kataku.
Sepanjang jalan, aku mengingat ingat barang kesukaan Surti. Aku ingin memberinya kado sebelum nanti pergi. Kado yang tidak pernah kuberikan bahkan saat dia menikah dulu.
Belum jauh dari pemakaman, aku melihat Haji Komari menghampiriku dengan motor vespa kebanggaannya. Aku pun menghentikan langkah.
      "Pri, untung ketemu kamu di sini," katanya usai menghentikan motornya dan menghampiriku.
      "Ada apa Pak Haji?"
      "Buat lubang satu lagi Pri. Surti meninggal."
Mendadak petir dan badai datang ke kampung ini. Atau lebih tepatnya ke hatiku sendiri. Ucapan Pak Haji Komari seperti tembakan jitu yang mengenai jantungku. Baru tiga jam kuhabiskan waktu di kuburan untuk menggali, melamun lalu berbincang dengan Karyo, Tuhan mengambil Surti diam-diam.