Mohon tunggu...
Okky Putri Rahayu
Okky Putri Rahayu Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ngeblog saat senggang

Pernah belajar mencampur larutan kimia, kini lebih suka mencampur kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepetak Lubang di Bumi

31 Januari 2020   20:13 Diperbarui: 31 Januari 2020   20:10 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Itu anak Bu Eem belum nikah Pri. Baru lulus SMP."

Setelah mendengar itu, aku sengaja melempar tanah ke arah Karyo. Ingin sekali kusumpal mulutnya itu dengan tanah merah ini. Biar dia mencicipinya dulu sebelum nanti dikubur dengan ini.

"Woo setan!" serunya lalu menyembur-nyemburkan serpihan tanah yang masuk ke mulutnya.

Ya, Karyo bukan pertama kali menawariku gadis-gadis di kampung ini. Mulai yang lulusan SMA, sekolah menjahit, lulusan SMP, bahkan pernah yang lulusan SD. Di kampung kami, tujuan akhir para wanita adalah menikah. Tujuan sampingannya melunasi hutang orang tua. Sama seperti Surti yang menikah saat lulus SMA.

"Kalau nunggu Surti, kamu jadi perjaka tua! Nikah lho enak Pri!"

Aku melirik Karyo seperti tatapan tukang kredit Gito menagih warga kampung. Nyali Karyo langsung ciut dan dia pun menutup rapat mulutnya. Karyo memang boleh sombong. Dia sudah menikah dua tahun lalu dan kini punya anak. Meski harus bolak-balik pegadaian untuk menutup kebutuhan rumah tangganya.

Selesai menggali lubang itu aku duduk di samping Karyo. Tatapanku memutar ke semua kuburan yang ada. Kegiatan yang sering kulakukan tiap selesai menggali. Dan kupikir-pikir benar kata Karyo. Aku harus menikah sebelum nanti mati dan dikubur di sini. Aku tak bisa selamanya menunggu Surti. Tapi sebetulnya, aku tidak punya banyak modal untuk menikahi anak orang.

Tiga tahun setelah lulus SMA dan kerja serabutan jadi pengurus surau, menggali kubur, sampe sesekali menerima tawaran menjadi kuli bangunan, tabunganku tak lebih dari dua juta. Uang itu kusimpan di bawah kasur karena malu membawanya ke bank. Uang yang mungkin cukup untuk membeli mas kawin alat solat dan membayar tetek bengek biaya di KUA. Sisanya mungkin bisa untuk DP awal sewa rumah kontrakan tahunan. Hanya itu yang kupunya.

            "Anak siapa yang mau kunikahi?"

            "Buktinya ada yang mau sama aku," jawab Karyo.

Ya, nasib Karyo tak jauh beda denganku. Pekerja serabutan. Beruntung, istri Karyo sabar dan menerima. Meski mereka harus tambal sulam utang demi dapur yang terus mengepul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun