Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Stabilitas Politik dan Ekonomi di Era Jokowi

22 September 2018   18:31 Diperbarui: 22 September 2018   18:52 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini isu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat menjadi bahan utama dalam upaya melemahkan kedudukan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menjelang akhir tahun 2018 Pemerintah kedudukannya terus digoyang oleh kelompok oposisi dalam mengupayakan kepemimpinan Joko Widodo selama ini telah gagal dan banyak merugikan masyarakat luas. Sehingga pada pemilihan presiden di tahun 2019 nanti masyarakat akan memlilih pasangan Prabowo - Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden Negara Republik Indonesia.

Sesungguhnya melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika bukanlah sesuatu yang menakutkan. Meski kedudukan rupiah terpuruk dalam dua puluh tahun terakhir namun kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini terkendali dengan baik.

Keterpurukan rupiah terhadap dollar Amerika, menurut Sri Mulyani (Menteri Keuangan RI) didasari atas kebijakan-kebijakan moneter yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Dimulai dengan dinaikkannya suku bunga dan likuiditas dollar Amerika dikurangi atau diperketat. Selain itu kebijakan fiskal Amerika juga ekspansif dengan penurunan pajak dan belanja yang meningkat. Ditambah kebijakan perang dagang oleh Presiden Trump kepada Eropa dan China dengan kenaikan tarif barang impor ke Amerika Serikat. Dampak dari kebijakan Amerika Serikat dirasakan seluruh dunia dalam bentuk suku bunga dollar meningkat, arus modal ke seluruh dunia terutama ke negara berkembang dan emerging menurun, dan ketidakpastian perdagangan internasional.

Begitupun yang terjadi di Indonesia, nilai mata uang rupiah terpuruk terhadap dollar Amerika dalam dua puluh tahun terakhir. Hal ini menjadi bagian utama bagi orang-orang di luar pemerintahan dalam menakut-nakuti masyarakat bahwa krisis ekonomi seperti tahun 1998 dapat terulang kembali. Mengingat negara-negara seperti Venezuela, Argentina dan Turki telah mengalami hal tersebut terlebih dahulu.

Isu tersebut berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian nasional pada saat ini. Dalam penjelasannya, Sri Mulyani menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat ini justru sedang mengalami akselerasi setelah mengalami tekanan merosotnya harga komoditas sejak 2015-2016. Pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat 5,17 % di semester I 2018 tertinggi sejak 2014. Dan tingkat pengangguran berada pada posisi 5,13 % terendah dalam dua dekade dan tingkat kemiskinan pada 9,8 % (terendah dalam dua dekade).

Dari sisi moneter, inflasi sangat terjaga pada angka 3,2 %, di semester I 2018, dengan stabilitas inflasi terjaga selama tiga tahun terakhir dikisaran 3,5 %. Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 1998, di mana tingkat inflasi mencapai pada angka 82,4 %.

Pada saat ini meski nilai tukar rupiah sedang terpuruk, namun harga barang-barang pada umumnya tetap stabil dan terjaga. Lantas apa itu inflasi? Dan apakah inflasi menjadi musuh nomor satu di masyarakat?

Pengertian Inflasi, dalam buku "Inflasi" yang ditulis oleh Suseno dan Siti Astiyah, dijelaskan bahwa pada awalnha inflasi diartikan sebagai kenaikan jumlah uang beredar atau kenaikan likuiditas dalam suatu perekonomian. Pengertian tersebut mengacu pada gejala umum yang ditimbulkan oleh adanya kenaikan jumlah uang beredar yang diduga telah menyebabkan kenaikan harga-harga.

Dalam perkembangan lebih lanjut, inflasi secara singkat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan meningkatnya harga-harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus.

Masih dalam buku yang sama (Suseno dan Siti Astiyah, "Inflasi"), dalam pengertian tersebut, terdapat dua pengertian penting yang merupakan kunci dalam memahami inflasi. Yang pertama adalah "kenaikan harga secara umum" dan yang kedua adalah "terus menerus". Dalam inflasi harus terkandung unsur kenaikan harga, dan selanjutnya kenaikan harga tersebut adalah secara umum. Hanya kenaikan harga yang terjadi secara umum yang dapat disebut sebagai inflasi. Inflasi adalah kenaikan harga secara umum, artinya inflasi harus menggambarkan kenaikan harga sejumlah besar barang dan jasa yang dipergunakan dalam suatu perekonomian. Kata kunci kedua adalah terus menerus, kenaikan harga yang terjadi karena faktor musiman, misalnya, menjelang hari-hari besar atau kenaikan harga sekali saja dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan juga tidak dapat disebut inflasi karena kenaikan harga tersebut bukan "masalah kronis" ekonomi.

Selanjutnya dalam jurnal "Pengaruh Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Inflasi di Indonesia" yang ditulis oleh Adrian Sutawijaya dan Zulfahmi, sebagaimana dijelaskan, sebagai indikator perekonomian yang sangat penting, fenomena inflasi lebih banyak mendapatkan perhatian dari para ahli ekonomi. Setiap kali ada gejolak sosial, politik dan ekonomi di dalam maupun di luar negeri, masyarakat selalu mengaitkan dengan masalah inflasi. Stabilitas ekonomi suatu negara di antaranya, tercermin dari adanya stabilitas harga, dalam arti tidak dapat gejolak harga yang besar yang dapat merugikan masyarakat, baik konsumen maupun produsen yang akan merusak sendi-sendi perekonomian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun