"Buatlah cerita yang dapat membawa pembava dapat merasakan momen tersebut,"
Tertampar diri atas pesan yang ia sampaikan. Dulu, saya mengingatkannya begitu waktu memotivasi ia menulis. Dan, sekarang ia balik mengingatkan. Â
Percakapan berawal dari unggahan tulisan story di WhatsApp. Sebuah tulisan AU yang menurutku patut dibaca di komentarinya, " seandainya abang pakai bahasa daerah, mungkin lebih bagus"Â
"Sungguh benar masukanmu," jawabku.
"Bukankah dulu abang berkata begitu. Tulislah seakan-akan aku, kamu dan mereka berada pada posisi itu," sahut anak muda bernama Fikram ini.
Aku menyimak kata-kata itu secara dalam. Benar saja, saya merasa anggitan-anggitan artikel yang saya hasilkan sekarang jauh dari "rumus sederhana" itu. Tak terpakai sama sekali. Hilang dalam kolaborasi kata.
Menangkap moment lalu menuliskan kembali memang sedikit menjadi konsen dalam artikel yang saya hasilkan. Proses ini membutuhkan waktu dan observasi mendalam.Â
Sepotong kalimat yang terucap dari sosok-sosok narasumber belum bisa dijadikan pembenaran menyeluruh. Penggalian lebih dalam adalah cara saya mendapatkan informasi.
Dua tiga jam kadang dihabiskan untuk mendapat cerita lengkap. Jika belum, tidak akan saya anggit menjadi artikel. Â Ditampung untuk kemudian hari.
Satu-satunya pekerjaan yang saya sukai. Jalan, bertemu orang dan mengbrol sepuasanya. Saya suka menangkap momen-momen dalam lakon kehidupan yang tersembunyi dibalik wajah. Dalam praktek kehidupan yang serba kompleks.Â
Cerita yang terurai dan tak terstrukur membutuhkan sentuhan halus nan sabar. Menyaring benang merah dalam setiap cerita. Digabung menjadi satu garis linear. Data dan riset menjadi bumbu pelengkap dalam anggitan.
Momen kehidupan adalah lakon tersembunyi dari pribadi setiao orang. Dan, saya menyukai itu. Terutama kelas bawah. Segala-galanya dirasakan. Di jalani. Buat memotivasi diri. Buat memotivasi yang lain.
Menceritakan momen "yang hidup" adalah bentuk penjiwaan. Memposisikan diri sebagai pihak yang ikut mengalami. Saya tak pernah memposisikan diri sebagai penulis. Melainkan sebagai pembaca. Rumus-rumus penulisan tak pernah saya ketahui.Â
Menceritakan yang hidup atau cerita dalam tulisan yang hidup adalah upaya atas kritik diri. Dan, saya kehilangan sentuhan itu. Sebuah saran sekaligus kritik oleh Fikram rupanya sudah membikin hati jadi gundah. Membikin diri harus kembali ke asal muasal yang saya sukai. Â Saya membutuhkan itu.Â
Beberapa anggitan artikel memang butuh penyesuaian. Butuh kehalusan agar tersampaikan dengan baik. Membawa jiwa dalam tulisan. Tentu, saya menerima saran itu sebagai bagian dari refleksi mencintai dunia ini. (Sukur dofu-dofu)