Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Timur, Kereta, dan Mimpi

19 September 2022   07:38 Diperbarui: 19 September 2022   19:35 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana KRL (dokpri)

"Kapan barang ini ada di Papua e," celoteh salah satu penumpang. Anak muda yang kemungkinan sedang berlibur ke Jakarta. Ia bersama empat orang lainnya, tiga pria satu wanita duduk dalam satu barisan kursi di KRL Commuter Line.

 Satu lagi pria seumuranku, bertindak sebagai guide.  Tugasnya menunjukan dan memberitahukan nama setiap gedung yang dilewatu kereta dari Stasiun Manggarai ke Cikini. 

"Iya ya, kita bisa pakai muat babi. Kalau peresmian, mungkin satu Papua bikin acara bakar batu," sahut teman di sampingnya. Aku mendengar sembari tersenyum.

Dua lainnya, hanya diam. Namun tidak dengan gerakan dan pandangannya. Menoleh ke luar, menikmati gedung dan kendaraan-kedaraan yang tersorot mata.

"Ah adik, barang ini tidak bisa pakai muat babi. Cuman bisa angkut orang," sang guide menjelaskan. Ia berdiri menghadap ke empat anak muda itu. 

Suasana kereta memang tak seramai hari kerja. Bebas mendapatkan tempat duduk dan bebas pula bergerak. Duduk sebarisan dengan mereka tidak membuat kaku dan hanya menatap gawai. Tawa sesekali pecah walau dengan nada yang tidak terlalu besar. 

"Ah kaka, kalau di Papua kan lain. Bisa saja to barang ini angkut babi," sahut salah satuya. Membuat mereka berlima tertawa. Aku yang duduk sebarisan dengan mereka juga ikut cekikan kecil.

Percakapan dalam pertemuan itu sangat singkat. Aku turun di Stasiun Cikini. Pertemuan dengan mereka ketika sama-sama naik dari Stasiun transit Manggarai.

Tetapi, percakapan di atas bagiku bukan humor, tetapi satir atas mimpi pembangunan. Saya menangkap itu sebagai sebuah harapan penyamarataan pembangunan. 

"Barang ini merujuk pada kereta yang kami tumpangi," rupanya memiliki kekaguman tersendiri dari beberapa saudara dari Papua tersebut.

Kekaguman pada kereta,  gedung-gedung, pada hiruk pikuk Jakarta bukan tentang udik atau kampungan, melainkan mimpi pembangunan yang sama. "Kapan" adalah suara dari harapan bahwa mereka atau kami di timur juga menginginkan hal ini melintasi kota-kota, perkampungan, dan hutan-hutan timur.

Membayangkan saja saya bahagia. Ibu-ibu, anak-anak, papa-papa, tua muda pasti sangat menikmati barang satu ini. Tentu dengan barang bawaan yang kuduga pasti memenuhi gerbong kereta. Aturan akan sedikit dilanggar.

 Saya banyangkan stasiun-stasiun penuh. Satu dua tiga anak duduk manis menonton kereta lewat di pinggir sembaru berteriak " kereta-kereta". 

Percakapan mereka mengingatkan saya pada narasi yang sama. Seingatku, beberapa tahun silam, narasi pembangunan kereta yang menembus hutan-hutan belantara Pulau Halmahera kencang digalakan.

Entah dari mana sumbernya. Warga hanya tau bahwa 10 tahun lagi dibangun kereta yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Pulau Halmahera. Pulau paling besar. Warga-warga yang sering ku temui di desa, bilang begitu. Dan mereka sangat antusias. 

Ada dari mereka bahkan bilang "kalau ada kereta, kita bisa jual kopra ke Kota". Namun setelah 10 tahun berlalu, tak ada tanda-tanda apapun. Rupanya, ini hasil dari intrik politik. Buat mendapat suara. Entah bagaimana caranya ini bisa menguatkan kepercayaan di level bawah.

Sama halnya dengan wacana pembangunan yang terinspirasi dari Jembatan Suramadu. Politisi lokal suka memakai barang satu ini untuk meraih simpati. Inovasi mereka menghubungkan Pulau Ternate, Maitara dan Tidore (pulaunya bisa dilihat di uang kertas 1000 lama), bisa membikin wacana jadi kajian-kajian. Bahkan kajiannakademis.

Namun tiba habis momentum politik, habis juga ide dan wacananya, hilang. Akan hadir kembali saat mendekati momentum politik.

Harapan yang keluar dari mulut anak-anak Papua yang ku temui di KRL, adalah representasi harapan umum di timur. Pembangunan  adalah teriakan histeris paling menggema. Jalan, pendidikan, kesehatan sebagai pilar utama selalu menggema. 

Teriakan-teriakan itu, memang tak cukup sampai ke meja penguasa. Namun itulah harapan yang mungkin suatu saat ada yang bisa mendengar. Tentu, bukan mengemis, namun inilah bentuk keadilan sosial. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun