Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kehidupan Guru Honorer di Pesisir

16 September 2022   16:51 Diperbarui: 17 September 2022   05:00 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lusi Ambarani, guru kelas VI MI Nahdlatul Ulama Balikpapan, Kalimantan Timur yang mengajak siswanya mencari luas lingkaran dengan mengaitkan penyelidikan masalah di dalamnya (DOK. TANOTO FOUNDATION)

Tapi itu tak masalah. Tujuan saya pada pengabdian dan memajukan ilmu di desa sudah terlampau kuat. Gaji berapa pun tetap ku terima. Walau kadang diterima beralur karena permasalahan pencairan dana bos yang kadang bikin ribet.

Kawan-kawanku yang lain, sesama profesi honorer juga sama. Lima sampai sepuluh tahun sudah mereka mengabdikan diri. Ada harapan yang membuat mereka bertahan sebegitu lamanya. Harapan mereka dan kebanyakan dari kami tentu saja mendapat "bonus" pengangkatan menjadi PNS. Sebuah kebijakan populer dari pemerintah daerah dan pihak terkait tentunya.

Namun sudah sepuluh tahun ini, tak satu pun saya dapati proses itu. Hingga beberapa menyerah dan memilih meninggalkan profesi sebagai guru honorer. Miris memang, sebab sepeninggal mereka banyak mata pelajaran yang tanpa guru. Apa daya, seseorang membutuhkan penghidupan dalam kehidupannya.

Sementara realitas sebaran guru di daerah-daerah terpencil tak jua terlaksana. Guru-guru yang datang, kebanyakan korban politik karena bermain pada kandidat yang salah. Bukan murni kebijakan penyebaran guru ke pelosok.

Tekanan politik sangat mudah kami rasakan. Guru honorer seperti kami sering kali menjadi aktor penindasan. Iming-iming diangkat PNS hingga nama prioritas, tak ubahnya kubangan kotoran di kepala. Jika tak ikut, maka kesempatan menggunakan seragam coklat kebanggaan tak akan pernah dicapai. 

Sering dan sangat sering kami rasakan. Baik honorer dari jalur sekolah ataupun jalur provinsi atau dinas.

Di balik hiruk pikuk yang terjadi, saya menikmati pekerjaan ini seperti saya menikmati mentari yang pecah di cakrawala dan senyum anak-anak manis di ruang kelas. 

Pekerjaan ini telah memantapkan kebenggalan idelogku dari yang semula ogah menjadi pendidik kini mencintai diri sebagai pendidik. 

Harapanku sederhana, segala jenis dan daya tenaga yang saya berikan dapat menciptakan sumber daya manusia yang lebih maju dan kompeten. Tentu dengan bebas berpikir. Dan, tumbuh hidup mekar literasi di desa pesisir.

Kemajuan bangsa terletak pada kualitas sumber daya yang merata. Profesi ini tak menjanjikan kesejahteraan selama sistem belum melirik kami, tetapi satu yang pasti profesi ini adalah ladang pahala.

*

Artikel ini terinspirasi dari sharing beberapa anak muda  yang berprofesi sebagai guru honorer di desa-desa pesisir di Maluku Utara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun