Pinang, sirih dan kapur tidak sekadar cemilan tetapi lebih dari itu. Ketiga unsur ini seakan menyatu dalam kultur kebudayaan. Perayaan besar, adat, hingga persaudaraan.
"Bisa minta bantu dibelah". Pinta salah satu nenek dihadapan saya sembari menyodorkan sebuah pinang tua.
Setelah dibelah, beliau kemudian menawarkan kepada kami para penumpang yang saat itu menumpang kapal yang sama menuju Kota Ternate.Â
"Ne felemei yo?' (Tidak makan pinang). Â
Istilah felemei dalam bahasa suku saya ialah mengunyah atau makan pinang, sirih dicampur kapur sekaligus.
"Felemei,"Â jawabku sembari mengambil sepotong pinang, sirih dan sedikit batu kapur. Beberapa ibu dan bapak-bapak juga tak mau ketinggalan.
Mulut kami merah sepanjang perjalanan. Bibir kami apalagi, selayaknya memakai lipstik.Â
Nenek-nenek begitu menikmatinya. Mengunyah sambil bercerita. Tentang apa saja. Paling sering tentang hubungan keluarga antar kampung satu dengan kampung lain.
Dua tamu dari Kota Makassar yang selama tiga hari ini saya temani melalang buana di Maluku Utara nampak keheranan melihat mereka mengunyah dengan begitu nikmatnya.
"Bang. Itu mereka ngak merasa pusing apa memakan pinang," tanya salah satu dari mereka.