"Tidak bang. Justru tak makan pinang dan sirih seperti tak minum air habis makan," jawabku menjelaskan.
"Lah iya kah, apa rasanya sehingga begitu dinikmati?" tanya heran.
"Ya rasanya ada pedasnya sedikit, pekatnya sedikit, dan agak panas karena di campur kapur," ujarku.
"Loh kapur papan tulis ya," tanyanya penasaran.
"Ya nggaklah bang. Kapur itu dari hasil pembakaran batu karang berwarna putih dan cangkang kerang putih. Jadi proses pembuatannya dimulai dari penumpukan batu. Kemudian ditutup menggunakan kayu lalu dibakat. Nah hasil pembakaran berupa material putih dan basah itulah disebut kapur," jelasku.
"Tapi, saya tidak tahu apakah kapur dari materi bebatuan itu berbahaya atau tidak. Saya belum mempelajarinya. Menurut saya yang paling bagus ya sirih sama pinang aja," lanjutku.
"Oh gitu ya. Sejauh ini apa yang nyata abang lihat dari mengunyah ini,"Â
"Jujur ya. Gigi tak mudah tanggal. Coba lihat umur mereka berapa. Sudah nenek-nenek di atas 60-an dan ibu-ibu di atas 40-an. Lihat gigi mereka apakah sudah tanggal seperti milik kita?" Â ujarku menunjukan seberapa gigi yang sudah hilang tempat.
Kami terus mengobrol. Terkadang beberapa ibu-ibu yang penasaran dengan kami meminta kenalan dan bertanya asal usul. Sesekali keduanya ditawari felemei, walau berhasil namun kedua teman saya tak cukup kuat mengunyah karena rasa yang begitu asing bagi mereka.
Dari sini, saya merasakan unsur persaudaraan. Silaturahmi dan terciptalah kehangatan tanpa disadari. Kami yang awalnya tak saling kenal lantas berbagi cerita.Â
Ini pula yang sering saya temukan dalam berbagai kesempatan. Obrolan hangat tanpa pinang, sirih, kapur terasa hambar.