Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Isi Kantong Belakangan yang Penting Gaya

1 Agustus 2020   22:32 Diperbarui: 1 Agustus 2020   22:49 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia adalah mahluk yang senang akan pujian apalagi menerima pengakuan dan diakui di lingkungan sosialnya.

Dalam obrolan singkat semalam dengan salah satu teman wanita Via Whastaap. Ia meminta pandangan mengenai apakah ia akan membeli Handphone baru atau tidak. Meningat saat ini saja, ia masih memiliki handphone berkelas. 

Ia galau, meminta saran dan pandangan.

" Aku di tawari handphone sama ipar aku. Harganya 7 juta 2 kali bayar," Keluhnya. 

" Bukannya kau masih punya handphone yang harganya 9 jutaan", Tanyaku 

"Tapi kan itu tipe lama bang. Gagdet ini lebih baru, 4 tingkat di atas tipe lama,". Jelasnya padaku. " Gimana bang? aku beli aja,"? Tanya ia kemudian

"Menurut aku, mending kau pakai aja itu dlu. Uangmu kau putar dlu. Kan, baru memulai bisnis. Modal beli Hp lumayan tu buat dua kali mutar bisnis,". Timbangku sambil mengingatkan agar ia memiliki pilihan untuk memilih.

"Ah jadi binggung. Pengen sekali ganti HP. Hp lama sudah lemot, heng.," Keluhnya.

"Kau beli Hp baru buat apa sih?. HP semahal itu hanya buat nelpon dan main sosmed aja kok. Tak lantas dengan memiliki HP baru kita langsung jadi cantik. Wong ujung-ujungnya hanya di puji. Padahal kita bokek," Jelasku kemudian

" Apakah salah, saya beli hp baru dari hasil nabung uang gaji? kan hasil keringat sendiri". Ia menimpal pertanyaanku. " Ya sudah aku hanya memberi masukan, yang make kamu juga,". Jawabku

"Iya nanti ku pikirkan, saya juga takut di omelin ibu. Auto seminggu di omelin. Pasti di bilang tak sayang orang tua, boros,tak berpikir kalau sakit uangnya dari mana" Keluhnya.

Obrolan itu begitu panjang. Sebelum akhirnya ia menimbang dulu keputusannya.

*****

Seorang sahabat akan melamar kekasihnya, segala persiapan sudah klop. Dari kirim salam hingga tiba lamaran sekaligus hantaran (adat timur). Sebelum lamaran keduanya sudah berdiskusi haibat hingga sepakat biaya pernikahan dan mahar.

Malam hantaran tiba, kedua keluarga besar ikut sepakat. Finnaly. Takutnya jumlah segitu dirasa kurang, bisa ambyar. Apalagi, di timur biaya pernikahan yang ditawarkan ke keluarga mempelai wanita kadang di luar logika. Semacam ada harga standar, yang tak boleh turun. Lebih berfluktuasi dan cebderung inflasi ketimbang deflasi Wkwkw..

Dalam laporan terbaru, biaya pernikahan dua pasangan di pandemi ini mencapai 500 juta. Eits, bukan berarti itu total biaya ya. Itu hanya harga meminang si gadis alias lamaran. 

Kalau sudah segini, pulau Ternate yang  dapat dikelilingi hanya 2 jam ini auto viral. Informasi begitu cepat menyebar di masyarakat dan bisa sampai ke kabupaten lain. Peristiwa ini juga akan menciptakan standar baru dalam meminang anak orang menjadi lebih tinggi lagi. Yah semacam emaslah, nilainya makin naik jika ada pemantik. Tapi kejadian ini terjadi 1 : 10 orang.

Kembali lagi, setelah lamaran dan hantaran, keduanya memilih tema melangsungkan pernikahan yang wah. Gedung di sewa, walaupun kena subsidi jika orang tua PNs, foto preweding, katering dan tentu saja dekorasi pernikahan dan baju-baju yang merogok kocek.

Tentu saja,segala tetebenge di atas membutuhkan biaya yang tak sedikit. Apalagi dekorasi yang dipilih Ketika di tanya, ia berdalih " pernikahan itu harus mewah. Keluarga mempelai wanita kan anak pejabat. Masa nikah  dibuat sederhana. Kan dua keluarga kami juga besar. Banyak yang datang,"

Antara mewah dan sederhana adalah dua hal yang mengukur skala sosial seseorang. Tentu saja, yang kaya akan menyelenggarakan secara mewah dan yang biasa-biasa dilakukan secara sederhana. Yang tidak masuk akal ialah yangbsederhana kepengin mewah.

Ia lantas mengeluarkan biaya lebih banyak dan saya pun harus ngutang sana sini guna memuluskan hasratnya. Yap demi persahabatan okelah. Tetap harus di bantu apapun kondisinya.

*****

Suatu sore, saya di ajak nonton dan nongkrong. Permintaam itu sudah ku tolak mentah-mentah. Apalagi,setiap ada liris film-film baru hasil produksi Marvel dan DC. 

Kejadian seperti ini sudah seringkali terjadi. Ajakan-ajakan yang tak bisa di tolak. Kebetulan saat di ajak, dompet saya kempis. Cukup buat beli rokok sebungkus dan makan 3 hari.

Tapi apalah daya godaan begitu kuat. Saya mengiyakan ajakan mereka. Tiket nontton 30 ribu, yap kami memilih weekend di mana harga tiket bioskop pasti naik. Tersisa 20 ribu. Pulangnya, kami makan di salah satu restoran cepat saji. Dan, ludes.

Sebelum kembali kami nongkrong terlebih dahulu, saya mau tak mau harus ngutang. Sembari nongkrong, jepretan kamera selalu hadir. Setalah itu Upload dapat dan dapat like serta komentar. Lumayan, puji-pujian setinggi langit begitu tinggi. 

Pulangya, mikir ngerokok dan makan apa esok harinya. Wkwkw. Baru nontton, makan dan nongkrong di emperan jalan aja udah segini apalagi pengen ngopi di Mall cafe-cafe mahal, lebih brabe lagi.

Dari tiga cerita di atas, menunjukan bahwa manusia selalu mementingkan gaya hidup ketimbang efisiensi. Saya bahkan gak luput merasa bangga misalnya saat memakai jam tanhan mahal hasil pemberian, nongkrong di HI yang menurut kami super duper mewah, makan di restoran. Ujung-ujungnya posting, dapat like dan komentar biat dapat sanjungan aja wkwkw.

Gaya hidup adalah sebuah problem yang kadang menjerat seseorang melalukan lebih di luar nalar.  Dengan batas ekonominya, seseorang kadang mendorong lebih maju dari kemampuannya. Dalam istilah ekonomi sendiri ialah lebih besar keinginan daripada kebutuhan.

Dorongan itu juga di picu oleh karakter ia bahkan kita dalam sebuah lingkungan. Misalnya sebuah lingkungan sosial yang selalu membahas dan menggunakan baarang branded akan memaksa anggota komunitasnya untuk tetap menampilkan miliknya yang terbaik. Apalagi, barang-barang yang terbaharukan. Ada semacam nilai prestisius bila memiliki barang yang baru.

Selain itu secara komunal, prespektif masyarakat yang menilai sesuatu dari luar saja juga terbentuk sangat kuat. Mobil mewah, rumah bagus, pekerjaan tetap juga bagian-bagian yang menciptakan ekspektasi bahwa orang-orang tersebut memiliki level diatas rata-rata. Sehingga, untuk melakukan sesuatu akan ada "standar" yang ditetapkan. 

Atau misalnya, salah satu kawan yang sering berverita tentang penampilan. Bahwa dengan penampilan necis bahkan penipu sekalipun dilayani.

Kultur dan kelas yang terbentuk inilah yang seringkali menguatkan hasrat seseorang untuk melakukan lebih. Sehingga dibanyak kasus ditemukan untuk menjaga kelas nya, ia rela melakukan kejahatan apa saja. 

Bahkan, korupsi diakibatkan tuntutan gaya hidup yang terstandar. Wong ngopinya aja harus mahal dan rame-rame. wkwkw

Antara gaya hidup dan isi dompet perlu equlibrium (keseimbangan). Sebab napsu manusia tak lebih dari posrsi yang sudah di sediakan. Jika hanya berpola laku untuk menerima pujian maka buatlah prestasi bukan peristiwa. Itu lebih penting. Sudahlah, wkwkwkw. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun