Dengan umur yang senja ini harusnya Nek Siti berdiam saja di rumah. Bermain sama cucu atau menonton televisi. Pikirku.
Aku tak sanggup lagi bertanya lebih dalam. Rasa iba ku sudah menguasai hasratku. Tak biasanya ini terjadi. Padahal aku sering lugas bertanya hingga ke dapur rumah. Tapi apalah daya, baru sampai ruang tamu aku benar-benar menjadi tamu.
Sejam kami mengobrol sebelum ia bergegas ke pelabuhan. Ada kapal yang masuk dan Nek Siti harus buru-buru menemui nelayan. Ia berharap bisa mendapatkan 50 Kg saja.Â
Tak sempat aku mengucapkan terima kasih, ia sudah menghilang dengan harapan yang ia pikul hari ini. Aku pulang, tak lagi ku lanjutkan keinginanku bertemu para pedagang.
                  *****
Tak pandang bulu ia berbagi. Kata orang-orang padaku, siapapun orangnya yang sedang membuat hajat (Pernikahan, syukuran, tahlilan, sunatan pembangunan mesjid dll) ia datangi dan berbagi.
Pria berumur 50-an ini hobi memakai kaos singlet dan celana pendek. Ia lantas mengajak  duduk di lapak yang kata ia sederhana. Anak buahnya ia panggil dan sekejap kemudian 3 gelas kopi mendarat cantik di atas kolboks penyimpanan ikan.
Ia berkisah tentang masa mudanya yang bandel. Saking bandelnya ia memutuskan berhenti sekolah dan kabur ke Surabaya. Yah, aku mengingat kisah-kisah yang pernah mampir di telinga dan hinggap di memori. Dulu, para tetua dan orang tua kami adalah orang-orang bermental pelarian.
Mereka berhasrat sukses di negeri Jawa kemudian memilih melakukan perjalanan (pelarian) secara ilegal menggunakan kapal laut, semisal Kapal Om Sini sampai Lambelu. Yap, kapal-kapal Pelni jaman old.
Mereka tak memiliki uang, ataupun tiket. Modalnya ialah berhasil sampai ke Surabaya atau Jakarta dengan bersembunyi dari petugas-petugas saat penagihan tiket. Jika tertangkap, maka resikonya di turunkan di pelabuhan sandar saat berlabuh nanti atau menjadi babu di Kapal.