Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Di Balik Wajah, Di Balik Kisah

19 Juli 2020   04:56 Diperbarui: 19 Juli 2020   05:29 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama wanita yang ku kisah kan. Dokpri

Perjalanan selalu membawa kita bertemu dengan orang-rang yang berbeda. Lewat mereka, kisah-kisah hidup akan mengalir bak air sungai. Ada terjal, ada benturan, ada kelokan, hingga yang lurus sebelum mencapai tujuan abadi. 

Layaknya mereka, kita pun demikian. Menantang arus kehidupan yang oase secara berbeda-beda. Tak ada jalan mulus, seperti harap pada pikir atau keinginan. Keinginan yang kadang  senang berbenturan dengan harapan.

Hidup bahagia tentu saja keinginan semua orang. Apalagi pada petang dan tua nanti, dapat menikmati senja di pelataran rumah. Menikmati sisa-sisa kemegahan hidup dalam memoar kenangan. Namun apa daya jika itu hanya harapan. Tentang kebahagian masa muda yang di idam-idamkan namun remuk di kehidupan mendatang?

Itulah kisah tentang manusia, yang hilang karena kesendirian dan kuat karena berbagi cerita. Jalan hidup tak boleh di salahkan apalagi dicaci. Ia hanya perlu di jalani dengan tertawa kala berbagi. Dan, tulisan ini tentang menemukan kisah-kisah. Pada langkah kaki yang gatal akan cerita.

Kisah pertama datang dari seorang wanita paruh baya. Ia, seumuran wanita kesayanganku, Nenek ku, pahlawan kehidupan ku.

Di sudut sebuah lapak kami bersapa. Wanita parah baya ini sedang menunggu ikan-ikan di daratkan oleh nelayan. Aku lupa namanya, tapi ku sebut saja Nek Siti.

Aku duduk disampingnya setelah sedari tadi mondar mandir di pelabuhan mencari narasumber untuk di wawancarai. Sebuah tas coklat sederhana pemberian anaknya tak pernah di lepas. Isinya, modal nek Siti membeli ikan. Jika hilang entah bagaimana nasibnya.

Sebuah ember yang sedari tadi di bawa masih nampak kosong. Tak ada ikan cakalang, tongkol dan sorihi yang terisi. Nek Siti masih menunggu kalau-kalau bisa membeli dari nelayam

Saat ku tanya, kenapa ia tak membeli ke perantara. Nek Siti mengakui modal yang ia bawa tak mampu untuk membeli dari harga yang di tetapkan perantara. Apalagi sudah dua hari ini gelombang laut tidak bersahabat hingga membuat pasokan ikan menjadi langkah dan harga menjadi mahal. Dalam bahasa-bahasa profesor ekonomi hal ini karena adanya hukum permintaan dan penawaran.

Ku tanyakan lagi maksud dan tujuan ia membeli ikan. Ku kira untuk di konsumsi. Tapi jawabanya membuat hati ini terasa pilu. " saya jual kembali dari desa ke desa, keliling,". Jawabnya.

Nek Siti ternyata pedagang eceran keliling. Ia menjajakan ikan dari desa ke desa. Kadang jika tak kuat jalan, nek Siti menjual di kampung saja tak kemana-mana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun