Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kehidupan di Atas Dermaga

18 Oktober 2019   10:17 Diperbarui: 18 Oktober 2019   15:29 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Seorang wanita menawarkan Barito ke nelayan

"Nene jual apa?" tanyaku pada seorang wanita paruh baya.
"Ce mau kase tukar tomat deng rica di kapal (hanya mau menukar tomat dan cabai di kapal)."
"Supaya bikiyapa nene? (untuk apa)," tanyaku penasaran.
"Supaya dapa ikan la jual (biar dapat ikan terus jual)," sahutnya sembari melihat nama kapal di samping body.

Matanya yang mulai rabun mengharuskan ia harus mendekat sedekat mungkin agar nampak tulisan kapal yang bagi mata normal bisa nampak dari jauh.

Setelah melihat-lihat, ia lantas menuju posisi kapten berada. Tepatnya di balik layar kemudi sambil melihat-lihat para ABK membongkar hasil tangkapan (cakalang, tuna dan tongkol).

Dokpri. Pembongkarran hasil tangkap
Dokpri. Pembongkarran hasil tangkap
Ia, tidak asing bagi saya. Karena, semenjak berada di sini kurang lebih 3 minggu, mata saya selalu tersorot tajam oleh kehadiran beliau. Luas pelabuhan PPI berkisar 700 H ini dikelilinginya pagi dan sore.

Pernah sekali, awal mula saya ke tempat ini, beliau yang saya perkirakan berumur sekitar 70 an lebih ini mendekat ke sebuah kapal penampung dan menunggu sembari berharap pemilik ikan dapat memberikannya ikan.

Selama 30 menit lebih ia berdiri di samping truk pengangkut ikan, sebelum akhirnya seorang petugas pelabuhan datang.

"Tolong kasih ikan ke ibu ini, kita saling berbagi," ungkapnya kala itu dengan tegas sembari menunjuk ikan-ikan diatas truk.

Ikan yang diberikan ke nenek
Ikan yang diberikan ke nenek
Dengan cekatan, sebuah kantong plastik kecil yang digengamnya sedari tadi diisi oleh para pekerja.
******
Saya masih tertegun, melihat ketekunannya bertahan hidup dan mengais rezeki di antara jayanya pertumbuhan ekonomi perikanan.

Selain beliau, banyak beberapa ibu-ibu yang juga menawarkan hal yang sama. Ketika kapal-kapal kembali melaut.

Kapal pole and line berukuran 10-40 GT, kehadiran mereka justru sangat membantu. Sebab, ABK maupun kapten tidak punya waktu untuk berbelanja karena banyak pekerjaan dari membongkar sampai persiapan operasional melaut setelah penjualan hasil tangkap.

"Kalau dorang (mereka) itu tiap hari ada, kadang tukar rica tomat dan bawang sama ikan. Kadang juga jual, jadi kami tinggal beli yang besar-besar." Ungkap kapten Mahmud, pria 60 tahun di balik kemudi Inka Mina 781.

Rasa penasaran saya selama 3 minggu di sini tak habis-habisnya. Ketika nenek tadi pergi, saya membuang mata ke kapal lain. Nampak, 3 anak kecil sedang mengelilingi palka umpan.

Anak kecil di palka. Dokpri
Anak kecil di palka. Dokpri
Berbekal senar dan kail, mereka memancing ikan yang masuk lewat lubang palka ikan. Ikan-ikan terkait kemudian menjadi milik mereka yang kemudian di jual kembali ke pedagang.

Penampakan ini ialah hal biasa. Tapi bagi saya, ini luar biasa. Kehadiran anak-anak semuruan mereka dalam mencari pundi-pundi rupiah sudah tertanam sejal kecil.

Selain itu, selama beberapa hari ini, langkah kaki saya landed di ruang kemudi kapten. Sambutan hangat para ABK kapal demi kapal begitu saya rasakan.

Padahal, sebelum itu kerisauan, minder, bahkan takut tidak diterima hinggap di jodat dan perasaan. Namun, semua itu buyar oleh senyum-senyum sebagai tanda sambutan hangat mereka.

Bersama kapten kapal/dokpri
Bersama kapten kapal/dokpri
Dari kapal-kapal yang saya kunjungi itu, saya belajar beberapa hal untuk pegangan hidup. Bahwa, pada hidup perjuangan memang paling utama, tetapi yang paling utama ialah ikhlas sesuai hasil perjuangan dan, jangan sekali-sekali melupakan tuhan, pemilik nafas dan rejeki.

"Anda mahasiswa, teori yang didapatkan di kampus tidak sepenuhnya benar di sini Nak. Di sini, Anda mengandalkan niat dan keikhlasan pada Tuhan. Seberapa hasil yang kau dapat, itulah yang kau syukuri. Jadi mari saya ajarkan..hahaha," ungkap kapten sembari melempar canda.

Sebuah identitas kekeluargaan yang tercipta dengan hangat diantara nelayan dan mereka yang bertahan hidup di sini.

Bagi saya, identitas ini tidak tercipta hanya semata untuk keuntungan. Tetapi lebih dari itu, sebuah nilai absolut dari hidup yakni berbagi.

Terkadang, saya sendiri tak habis pikir. Ketika kehidupan sosial di atas sana sudah bergeser, di sini mereka masih mempraktekan kehidupan sederhana.

Ibu-ibu yang berjualan bahan dapur di kapal, wanita-wanita muda yang cekatan menjual perlengkapan pancing (bulu ayam), anak-anak yang diberi satu sampai dua ekor ikan untuk dijual kembali sebagai tambahan biaya sekolah, para pemilik rumah makan yang selalu menebar senyum hingga nelayan-nelayan yang menerima harga di bawah harga pasar semuanya tertata pada sebuah nilai. Berbagi dengan keihlasan.

Kesemuanya bersinergi dalam sebuah lingkungan sederhana. Sesederhana menghirup amisnya bau ikan di pelabuhan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun