Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Topo dan Komoditas yang Hilang

9 Oktober 2019   07:48 Diperbarui: 9 Oktober 2019   18:01 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya baru sempat menuliskan perjalanan ini, setelah beberapa hari menimbang "kalimat" yang tepat untuk memulai. Akibat kekakuan menggerakan jemari di atas tombol keyboard walaupun segudang ide terlintas dan sempat mampir di kepala.

Dan, kalimat yang tepat untuk memulai tulisan ini adalah, "untuk mengenali seseorang, Anda perlu menyelaminya secara dalam". 

Sebuah kalimat yang mendorong saya dan dua orang teman melakukan perjalanan setelah 3 tahun lebih meninggalkan kampung halaman karena tuntutan UNTUK melanjutkan studi. Ini pulah yang menjadi dasar tulisan tulisan saya kaku akibat miskin ide, hehehe.

Perjalanan kami sebenarnya sudah diatur jauh jauh hari, ketika salah satu junior di IPB mengabarkan bahwa dirinya keterima sebagai peserta di KKN Kebangsaan dan akan di tempatkan di daerah saya, Maluku Utara. 

Dengan ketidaktahuan dia tentang kultur, budaya, agama, bahkan demografi wilayah timur, saya mulai menjadi "google" untuknya --memberikan informasi yang dibutuhkan. Dan, kami bersepakat akan berkunjung ke desa di mana ia akan tinggal.

Selang sebulan, niatan kunjungan tersebut akhirnya bulat. Saya mengajak dua orang junior untuk ikut. Mereka berdua sebenarnya adalah partner saya ketika akan menjelajahi pelosok-pelosok desa. 

Kondisi sosial dan ekonomi akan kami kemas ke dalam film dokumenter dan juga tulisan-tulisan, yang nantinya akan kami bagikan ke platfrom digital dan menjadi sebuah masukan untuk pemangku kepentingan di sana.

Pagi itu, setelah melakukan briefing, kami pun bergerak. Memakai dua buah sepeda motor, niatan kami untuk melintasi lautan semakin bulat. Karena,daerah yang kami kunjungi berada di Seberang, tepatnya Kota Tidore, Desa Topo.

Bagi yang belum familiar, Kota Tidore dapat Anda lihat di mata uang seribu lama yang berlatar nelayan dan dua pulau. Nah, pulau kecil di depan adalah Maitara dan belakangnya adalah Tidore yang diambil dari sudut pandang Kota Ternate.

Bertolak dari pelabuhan Bastiong Ternate, kami memilih moda transportasi Kapal Kayu. Sebenarnya moda angkutan laut ini sudah dilarang oleh Pemda untuk mengangkut kendaraan, khususnya roda dua. 

Sebab, beberap bulan telah terjadi kecelakaan antara speed boat dan kapal kayu, yang menyebabkan seorang anak menjadi korban. Dan deretan catatan laka laut banyak melibatkan moda transportasi ini.

Namun, guna untuk mengefesiensi waktu, moda ini banyak menjadi pilihan ketimbang menunggu kapal ferry yang harus memakan waktu 2 jam. Padahal, untuk menyebarang ke pulau Tidore hanya membutuhkan waktu 10-15 menit saja dengan menggunakan speed boat maupun kapal kayu.

Perjalanan ini sebenarnya tidak mulus-mulus amat. Malam sebelum berangkat, kami sudah menghitung jarak dan waktu perjalanan. Tetapi baru saja sampai ke Tidore, kami sudah tekor alias salah perhitungan. Maklum saja, sudah lama tak berkunjung ke Tidore menggunakan moda transportasi ini.

Sebelum ke desa Topo, kami mampir sebentar di Kelurahan Rum. Bersua kawan lama di perantauan, sembari basa-basi dan diskusi ringan tentang perkembangan Maluku Utara.

Tepat pukul 11.20 kami bertolak, melanjutkan niatan ke desa Topo. Tapi sebelum itu, mampir sebentar menghirup aroma pantai di Soasio, pusat Kota. 

Ditemani secangkir kopi dan sepiring sukun panas yang cekatan di suguhkan tuan rumah, lahapan demi lahapan terasa begitu nikmat. Aroma laut dari pecahan buih-buih ombak menerjang karang menjadi aroma terapu alami.

Sejam lebih kami terbuai. Sebelum, dikagetkan dengan tujuan kami oleh seorang teman yang kebetulan ingin ikut. 

Masalah berikut yang kami hadapi adalah, desa Topo mana yang akan kami kunjungi. Maklum, Kelurahan Topo sendiri ada 3, Yakni Topo 1, 2, dan 3. Dan jika salah mendapatkan informasi, sudah tentu kami salah arah dan tujuan.

Terkendalanya akses informasi menjadi salah satu faktor utama. Teman yang ingin kami temui tidak dapat dihubungi. Padahal, kampung yang terletak di ketinggian 500 MDPL tersebut harusnya dapat menjangkau jaringan.

Setelah mendapatkan informasi, kami pun bergerak. Dan kata orang tidak gampang melakukan sebuah perjalanan. Yap, kami harus berhati-hati karena jalan yang kami lalui memiliki kemiringan 45 derajat. Kendaraan yang kami naiki juga bukan didesain untuk tanjakan-tanjakan terjal seperti ini.

Sebenarnya, untuk ke Topo ada kendaraan penumpang yang naik ke atas. Namun, kendaraan tersebut tidak selalu ada, sehingga harus menunggu beberapa jam.

Drama demi drama kami alami. Kendaraan kami tumpangi tak mampu menanjak, sehingga salah seorang dari kami harus bolak-balik layaknya abang ojek.

Setelah semuanya sampai, kami kemudian menuju titik perjanjian. Namun, nasib apes menimpa kami. Yap, teman yang hendak kami temui, justru sedang turun ke kota. Alhasil kami memutuskan untuk pulang dan kembali esok hari.

Hari kedua, cerita dan harap.

Perjalanan yang kami alami kemarin tidak kami sesali. Setidaknya kami sudah mengenal medan yang kami tempuh. Tepat pukul 09.00 kami pun berangkat, kali ini hanya kami bertiga.

Sesampainya kami di Topo, seorang wanita muda, energik, dan penuh semangat menyambut kami di kantor kelurahan. Wanita asal Aceh ini sudah menunggu kami sedari pagi. Ulfa namanya, wanita yang tidak kami temui kemarin.

Kami pun diundang masuk ke kantor kelurahan sekaligus sekretariat mereka. Sembari mengobrol, tiba-tiba datang seorang pria berbadan tegak. Melempar senyum kemudian dikenalkan oleh Olfa. Ternyata beliau adalah kepala kelurahan di desa tersebut, namanya Pak Rusman Hamid.

Berlima kami ngobrol panjang lebar, mulai dari keseharian para peserta KKN kebangsaan, aktivitas masyarakat, hingga harapan dari desa Topo sendiri. Kami pun langsung melakukan interview dengan keduanya, hingga salah satu pernyataan membuat kami terkejut sekaligus penasaran.

Bawang Topo yang diusahakan di Haltim (Dokpri)
Bawang Topo yang diusahakan di Haltim (Dokpri)
Bagaimana tidak, Topo dalam bayang-bayang kami adalah desa yang terkenal karena komoditas unggulnya. Sebut saja bawang Topo. Bawang Topo adalah identitas dari desa ini dan sudah terkenal seantoro pegiat pertanian. Namun, justru bawang topo sendiri tidak lagi dibudidayakan di desa ini.

Menurut pak Rusman, bawang Topo memang dikenal berasal dari desa mereka. Akan tetapi masyarakat tidak lagi membudidayakan komoditi tersebut akibat alih fungsi lahan menjadi perumahan. Lagipula, desa yang terletak di pegunungan ini tidak memiliki lahan luas untuk ditanami bawang Topo.

"Tenar nama hilang bukti", itulah kondisi yang dapat menggambarkan kondisi bawang Topo saat ini, yang mana justru menjadi komoditi yang ditanam di dataran Halmahera sana.

Fakta lain yang kami dapatkan justru lebih menyita perhatian. Yap, salah satu komoditi asli Topo terancam punah. Dan saat ini hanya tinggal beberapa pohon saja. Itupun sudah diserang penyakit yang oleh warga sendiri tidak memiliki pengetahuan tentang penyakit tersebut.

Sumber : www.litbang.pertanian.go.id
Sumber : www.litbang.pertanian.go.id
Komoditi tersebut adalah jeruk Sabalaka. Jeruk yang hanya ditemui di desa ini. Jeruk ini dulu berdiri kokoh di halaman-halaman rumah para warga. Dan menjadi salah satu jeruk kesukaan Presiden Soeharto. Katanya, Soeharto sering memesan khusus jeruk ini.

Cerita yang diutarakan oleh pak Rusman membuat saya dan kedua teman penasaran. Maklum, jeruk ini baru pertama terdengar di telinga. Bahkan, tidak begitu familiar bagi kami.

Kami pun merasa sangat beruntung, karena ternyata ada beberapa warga yang berhasil menemukan 3 buah jeruk di pohon milik mereka yang hampir mati tersebut. Dengan cekatan, pak Rusman memerintahlan salah satu peserta KKN dari Riau untuk segera mengamankan jeruk tersebut.

Selang 5 menit kemudian, 3 buah jeruk tersebut mendarat manis dihadapan kami. Tanpa pikit panjang kami cekatan mengupas jeruk tersebut dan melahapnya sembari membandingkan jeruk tersebut dengan jeruk lain. Alhasil, jeruk manis tersebut memang sangat berbeda secara tekstur hingga rasa.

Rasanya yang manis dan legit inilah yang mungkin menjadi alasan Presiden Soeharto pernah mencicipinya. Bahkan, katanya, presiden Soeharto sering memesan khusus jeruk ini jauh-jauh ke Indonesia Timur.

Tanpa pikir panjang, saya membujuk Pak Rusman dan Ulfa menengok pohon yang masih tersisa. Selama 15 menit kami berjalan hingga akhirnya kami menemukan dua pohon jeruk Sabalaka. Ternyata, apa yang diceritakan oleh keduanya memang benar-benar terbukti.

Penjelasan Pak Rusman. (Dokumentasi pribadi)
Penjelasan Pak Rusman. (Dokumentasi pribadi)
Satu pohon telah menjadi pohon kering yang siap mendarat cantik di tungku perapian, dan satunya lagi masih hidup namun harus bertahan hidup akibat serangan hama. Bisa dibilang, pohon ini ibarat kanker stadium akhir yang menunggu ajalnya tiba.

Sembari mendokumentasikan, obrolan demi obrolan saya lakukan dengan Ulfa. Menurut pengetahuan yang didapatkan dari masyarakat, dulu jeruk ini dapat ditemui  di setiap pekarangan rumah. 

Namun, akibat pembangunan yang gila-gilaan, jeruk ini kemudian perlahan mati. Menurutnya, kondisi ini disebablan karena adanya radiasi yang dihasilan oleh atap-atap perumahan.

Pohon jeruk yang mati (Dokumentasi pribadi)
Pohon jeruk yang mati (Dokumentasi pribadi)
Dulu warga desa masih menggunakan atap yang terbuat dari daun sagu sehingga tidak menimbulkan radiasi. Sekarang, rumah-rumah warga sudah berbahan beton dan tentunya efek dari atap tersebut menyebabkan perubahan iklim menjadi ekstrim.

Selain itu, kami juga melihat batang-batang pohon mengeluarkan getah yang bewarna cokelat. 

Penyakit yang menyerang pohon (Dokumentasi pribadi)
Penyakit yang menyerang pohon (Dokumentasi pribadi)
Tentu, obrolan saya dengan Ulfa terlihat bahwa warga sekitar nampak kehilangan komoditas kebanggan di desa mereka. Warga sendiri bukan tidak berusaha. Beberapa peneliti sudah datang mengambil sampel, namun justru hingga kini tak ada tindak lanjut yang pasti, sehingga warga hanya mampu berharap.

Sejam lebih kami mengobrol, namun rasa kehilangan warga desa Topo akan komoditi bawang Topo dan jeruk Sabalaka membekas di pikiran kami. Padahal, baru saja kami begitu antusias ketika mengetahui bahwa ada komoditi andalan, tetapi sejurus kemudian kami harus menerima kenyataan pahit bahwa komoditi tersebut akan "punah".

Kami hanya mendengarkan cerita dan sedikit fakta, selebihnya angan-angan hampa menghantui. Harapan demi harapan menemani perjalanan pulang kami. 

Harapan akan manisnya jeruk Sabalaka dapat dinikmati anak cucu kami kelak. Harapan akan kemegahan dan sejarah harus lekat, dekat dan abadi.

Perjalanan pulang kami menjadi hampa, risau dan galau. Baru kali ini, perjalanan saya menyisahkan perkara di pikiran. 

Obrolan demi obrolan mengantarkan langkah kami pulang ke Ternate. Seharusnya, komoditi-komoditi endemik lokal perlu dijaga dan diselamatkan. Memang, jeruk Sabalaka tidak terlalu tenar seperti jeruk lain.

Tetapi, nilai historis dan kebanggaan memiliki nilai ekonomis lebih. Patutnya, pemerintah, mahasiswa, kita, dan juga lembaga-lembaga turut serius dan peka pada keunggulan komparatif sebuah daerah.

Bawang Topo maupun jeruk Sabalaka hanyalah dua identitas komoditi dari puluhan komoditi yang terlupakan akibat arah pembangunan yang tidak tersistematis.

Kedepan, kita akan asing dengan identitas-identitas yang melekat, dan memakai identitas palsu pada keberagaman kehidupan. Yang asli akan pergi, yang datang nanti hanya cerita hati tapi tidak dinikmati. #marijagatanamanendemikkita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun