Mohon tunggu...
Ofis Ricardo SH MH
Ofis Ricardo SH MH Mohon Tunggu... Pengacara - Akademisi, Pushardem, Advokat PKPU dan Kepailitan, Kurator - Pengurus

Managing Partner Ofis Ricardo and Partners; Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Demokrasi (Pushardem)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Putusan "Judicial Review" UU Pemilu

16 Maret 2018   11:06 Diperbarui: 16 Maret 2018   11:19 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: merdeka.com)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan lima belas partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2019, serta empat partai lokal Aceh. Pemilu tahun 2019 yang akan memilih anggota DPR, DPD, DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) serta presiden dan wakil presiden ini dilaksanakan secara serentak yang merupakan kali pertama sejak reformasi.

Landasan hukum pelaksanaan pemilu serentak ini ialah UU Nomor 7 tahun 2017 (UU 7/2017). Pasca DPR menetapkan UU ini, menimbulkan pro dan kontra khususnya mengenai pemberlakuan Pasal 222 mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Hingga sejumlah kalangan mengajukan judicial review terhadap Pasal 222. Namun putusan judicial review Pasal 222 tersebut menyisakan tanda tanya besar ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review atas Pasal 222 tersebut.

Itu artinya, Pemilu tahun 2019 tetap dilaksanakan secara serentak memilih anggota legislatif serta presiden dan wakil presiden dengan menggunakan ambang batas hasil pemilu legislatif tahun 2014.

Pemilu serentak

Menerapkan ambang batas pada UU 7/2017 menjadi tidak lazim pasca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pemilu legislatif dan pilpres dilaksanakan secara serentak tahun 2019. Ketidaklaziman ini karena tidak mungkin melaksanakan pemilu legislatif dan pilpres secara serentak dengan tetap menggunakan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Dalam amatan penulis, ada beberapa poin krusial yang menjadi pertimbangan MK dalam menolak permohonan judicial review atas pasal 222 ini. Pertama, pemberlakukan ambang batas untuk memperkuat sistem presidensial. Mengembalikan ambang batas bertolak belakang dari semangat tujuan diterapkannya pemilu serentak seperti yang tertuang dalam Putusan  MK Nomor 14/PUU-XI/2013.

Pemberlakuan ambang batas disaat pemilihan anggota lembaga legislatif secara serentak dengan pemilihan calon presiden dan wakil presiden membuat kaburnya penerapan sistem presidensial murni seperti dicita-citakan UUD 1945.

Ambang batas bukanlah hal yang baru dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Selama era reformasi telah dilaksanakan tiga kali pilpres langsung dengan menggunakan syarat ambang batas.

Namun, penerapan ambang batas ini menjadi tidak relevan lagi tatkala MK telah memutuskan Pemilu serentak melalui Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan MK ini kontradiktif dengan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 dengan tetap menggunakan syarat ambang batas sebagai syarat pemilihan presiden dan wakil presiden dari hasil pemilu legislatif sebelumnya.

Kedua,  Dengan adanya ambang batas maka kontestan memiliki cukup gambaran atau estimasi dukungan di DPR dan figur partai dapat mengisi kabinet. Dalam pertimbangan hukum ini, MK seakan lupa pada semangat yang dibangun pada putusan 14/PUU-XI/2013 dimana dalam putusannya itu MK memutuskan melaksanakan pemilu serentak guna menghapuskan politik transaksional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun