Mohon tunggu...
Ody Dwicahyo
Ody Dwicahyo Mohon Tunggu... Sejarawan - Konsul Kehormatan Republik Indonesia untuk Zootopia

Konsul Kehormatan Republik Indonesia untuk Zootopia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bondan Winarno, Festival Jajanan Bango, dan Dwi Estiningsih

30 Desember 2016   08:00 Diperbarui: 30 Desember 2016   19:15 2169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah BI merilis uang baru bersama harapan agar perekonomian Indonesia juga memasuki babak baru, Sis Dwi Estiningsih bercuit. Cuitannya mempersoalkan pilihan BI, atau siapapun otoritas di belakang pencetakan uang baru, dalam menjadikan 5 pahlawan “kafir” sebagai ikon pada lembar-lembar uang kertas tersebut.

Menurut Sis Dwi, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam berhak untuk melihat pilihan itu sebagai suatu hal yang mengganggu. Dibantu oleh pengetahuan Sis Dwi yang mumpuni di bidang psikologi (Sis Dwi ini master pada bidang ilmu tersebut), ia berhasil memenangkan segelintir massa.

Tidak sedikit netizen mengamini ide Sis Dwi, mempertanyakan secara skeptis tentang pahlawan-pahlawan yang ada di uang baru itu. Beberapa netizen bahkan dengan amat cerdas menarasikan pertanyaan menjadi pernyataan yang shahih. “Siapa sih dia ini?” kalimat berakhirkan tanda tanya itu lebih terdengar seperti vonis majelis hakim ketimbang pertanyaan pelajar yang belum hafal nama pahlawan. 

Beberapa lainnya menggunakan pengandaian pars pro toto, menjelaskan fenomena besar semata-mata dengan subjektivitasnya. “Saya lahir tahun ’72, saya nggak pernah tahu pahlawan ini”. ujarnya sambil menuding Frans Kaisiepo tokoh yang berkontribusi dalam memasukkan Papua ke dalam peta Indonesia. Tanpa beliau, ujung timur peta kita akan berhenti di Maluku. Apa ndak wagu?

Sebenarnya saya lebih ingin menganggap perkataan Sis Dwi sebagai angin lalu dan apa yang ia lontarkan sebagai upaya menggalang lebih banyak followers. Akun Twitter dengan banyak followers bagaikan modal usaha 1 unit ruko milik Agung Podomoro, misal suatu waktu Sis Dwi sudah lelah nyinyir pastilah akunnya bisa dijual ke pedagang kaos turn back crime. Tetapi, tuntutan kesarjanaan yang membuat saya bangun lebih pagi dan membuka laptop, berusaha menyusun pledoi untuk anda semua baca.

Sebagai alumni Jurusan Sejarah dengan gelar S.S. (Sarjana Sastra, bukan Sarjana Sejarah apalagi Spesial Sambal), saya sering ditanya sanak famili mengenai persoalan ini. Hanya melalui tulisan ini, saya justru ingin menegaskan bahwa apa yang Sis Dwi persoalkan melalui twitternya bukan semata-mata urusan sejarah. Lebih luas lagi,  pemilihan siapa pahlawan dan pengkhianat berdiri di atas sebuah platform yang amat kompleks dan membuat kenyiyiran Sis Dwi menjadi terdengar cenderung meremehkan.

Sejarawan adalah Pak Bondan Winarno

Sejarawan, menurut hemat saya, bekerja bagaikan Bondan Winarno yang tugasnya pergi mengunjungi berbagai restoran dan mengatakan maknyus ke semua makanan. Sate Padang Mak Syukur dia bilang maknyus, Sate Padang Ajo Ramon pun dia anggap maknyus. Jika kita bertanya pada Pak Bondan, Makanan apa yang paling maknyus daripada semua menu yang maknyus? pastilah Pak Bondan meminta sang penanya untuk mengelaborasi pertanyaannya. Pada kategori makanan apa? Di mana? Makanan utama atau kudapan? Begitulah kira-kira.

Sejarawan cenderung menenggelamkan diri dalam detail-detail yang menurut istilah mereka einmalig alias unik dan terjadi hanya satu kali pada ruang dan waktu tertentu. Sejarawan cenderung tertarik pada keping keping fenomena: penciptaan mobil, perjalanan haji sebelum pesawat diciptakan, perang candu, dan hal-hal lainnya. Sejarawan menganggap semua peristiwa yang dapat digunakan untuk membangun eksplanasi atas manusia sebagai sesuatu yang  maknyus. Pada konteks pahlawan, sejarawan juga akan bertindak sebagaimana Pak Bondan. Jika ditanya: Siapa yang berhak diberi gelar pahlawan?, Sejarawan akan meminta sang penanya untuk menjembrengi pertanyaannya dengan lebih mendetail.

Di Makassar, Sultan Hassanudin adalah pahlawan tetapi di Bone, Arung Palakka adalah pejuang yang mereka kenang. Lepas dari klaim Sis Dwi dalam tanda pagarnya bahwa "untung saya belajar #sejarah, menurut saya, sejarah justru menghadirkan banyak "ruang tengah" yang menahan orang untuk menghakimi. Dalam bahasa latin, dikenal istilah:  Sapientia et Historiam yang kurang lebih berarti "Belajar Sejarah membuat Bijaksana".  Ruang tengah dan abu-abu itu jelas tidak disukai oleh banyak orang, terutama mereka yang gencar mempromosikan pandangan biner atas segala sesuatu. Nah, daerah abu-abu ini yang membuat sejarah selalu in a complicated relationship dengan proses pemberian gelar kepahlawanan.

Pemberian Gelar Kepahlawanan adalah Festival Jajanan Bango

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun