Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dari Lokalisasi ke Penjara (2)

12 April 2013   19:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:18 2630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Preman Sebagai Alat Kekuasaan

Sudah menjadi rahasia umum, bila seorang atau sekelompok preman bisa tumbuh menjadi satu kekuatan besar apabila ada pihak yang menjadi pendukungnya. Pendukung bisa dari kalangan politisi, partai, kepolisian dan TNI sendiri.

Kesaksian dari Bathi Mulyono, seorang yang berhasil menyelamatkan diri dari OPK bisa memberikan gambaran. Di dukung oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Wijodyo,  Bathi Mulyono mendirikan Yayasan Fajar Menyingsing  dimana ia menduduki posisi sebagai ketua. Yayasan ini menghimpun ribuan residivis dari berbagai daerah di Jawa Tengah.

Ia juga memberikan kesaksian pernah terlibat dalam peristiwa Lapangan Banteng dalam kampanye pemilu 1982. Tugasnya memprovokasi massa PPP (Partai Persatuan Pembangunan. “Saya memakai jaket kuning, dalamnya kaos hijau,” kenang Bathi Mulyono.

“Kami sudah mendapatkan petunjuk untuk operasi di Jakarta, perintah itu datang dari number one melalui jaringan saya,” ujar Bathi. Number one yang dimaksud Bathi adalah Ali Murtopo, petinggi di era Orde Baru yang terkenal dengan operasi-operasi klandestinnya.(lihat di SINI)

Pada saat OPK berlangsung di Semarang dan rekannya di Yayasan Fajar Menyingsing turut menjadi korban antara lain Eddy Menpor dan Agus TGW, Bathi akhirnya menyadari ia juga menjadi sasaran Petrus. Pada saat mengemudikan mobilnya di bulan Juli 1983, dua motor menyalip dan menembaknya. Beruntung ia masih hidup lalu menyembunyikan diri di Gunung Lawu hingga tahun 1985 saat OPK telah mereda.

Bathi adalah salah satu yang gigih memperjuangkan agar kasus Petrus periode 1982-1985 diusut.

Di Yogya, salah satu orang yang berhasil selamat adalah Trimurjo alias Kenthus, warga Jlagran. Dalam wawancara dengan media (lihat di SINI) Ia menyatakan di Yogya OPK (Operasi Pemberantasan Kejahatan), ramai-ramainya akhir tahun 1982. Saat itu sedang ramai kampanye. Saya jadi disuruh mengawal Golkar menjadi semacam satuan tugas (satgas). Setelah satu persatu kawannya tewas, ia bersama dua orang kawannya yang berasal dari kampung Jlagran melarikan diri ke Jakarta. Tujuannya meminta perlindungan ke LBH, yang kantornya belum mereka ketahui. Mereka bertiga lalu menghubungi dan meminta bantuan seorang wartawan kompas  yang berasal dari Yogya yang kemudian mengantarkan ke kantor LBH.

Selama seminggu mereka tinggal di LBH, sampai M. Hasbi mengetahui keberadaan mereka dan menlpon LBH untuk menyerahkan mereka bertiga. Setelah menolak, akhirnya LBH Jakarta meminta surat jaminan hidup, yang dipenuhi oleh M. Hasbi. Diantar seorang staff LBH, mereka kembali ke Yogya dan dijemput oleh Artidjo Alkostar (kemudian pernah menjadi Hakim Agung).

Kedatangan mereka juga dijemput oleh empat orang tentara dengan penutup kepala dan senjata laras panjang. ”Seperti perlakuan kepada teroris” kata Kenthus. Mereka hendak menculik Kenthus dan kedua kawannya, namun staff LBH menyatakan, 'Kalau Bapak ini mau menembak, tembak saya dulu, yang mengawal.'.

Di Yogyakarta, pernah dikenal organisasi Komando Inti Keamanan (Kotikam) yang dibentuk pada tahun 1976. Organisasi ini dibentuk sebagai perwujudan dari pelaksanaan amanat yang diberikan Sri Sultan HB IX kepada RM. Imam Kintoko untuk melakukan pembinaan terhadap gali-gali di Yogya.

Sebelumnya, Pangdam IV Diponegoro, Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Pakualam VIII telah memberikan mandat kepada Kintoko untuk mencari massa bagi Golkar, yang akhirnya membentuk Angkatan Muda Diponegoro (yang pada tahun 1980 menjadi Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI).

Terhadap amanat yang diberikan, Kintoko mengusulkan agar organisasi bersifat independen yang tidak berkonsentrasi pada AMD ataupun Golkar, tapi merupakan Satuan Tugas.  Hal ini disetujui oleh Sri Sultan HB IX.

Kotikam bergerak di wilayah DIY dan sekitarnya, dimintai jasa sebagai detektif swasta, mengendalikan tempat parkir dan tempat hiburan di Yogya, dan menyelesaikan segala bentuk kriminalitas.

Pada saat Petrus berlangsung, KOTIKAM menentang keras operasi itu dengan lasan Preman sesungguhnya ada di birokrat. Terjadi konflik antara Kotikan dengan Garnizun selama sekitar enam bulan, sampai akhirnya turun perintah penghentian operasi oleh Jendral Benny Moerdani yang sangat marah kepada Komandan Kodim DIY Kolonel M. Hasbi karena salah sasaran memerangi Kotikam yang sebenarnya sahabat ABRI

Paska OPK, nama Kotikam menghilang, dan dua tahun terakhir dihidupkan kembali dengan visi Kenyamanan menyeluruh di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan tetap terjaganya wibawa Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat blog Kotikam di SINI).

(Bersambung)

Baca juga:

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun