Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Pusaran" Semarakan Perteateran Yogya

23 Juli 2019   13:48 Diperbarui: 25 Juli 2019   09:24 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 22-23 Juli 2019, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta bersama Teater Alam memanggungkan "PUSARAN" bertempat di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.  Pementasan yang dilakukan dalam rangka Peringatan Lustrum ke 7 ISI Yogyakarta dan juga menyambut 50 tahun Teater Alam.

Lakon terjemahan Toto Sudarto Bachtiar dari "A Screetcar Named Desire" karya  Thomas Lainer Williams, atau lebih dikenal dengan nama Tenessee Williams, merupakan lakon realis psikologis. Tentu ini merupakan tantangan berat bagi para pemainnya. Lakon dengan kisah yang tergambarkan melalui dialog-dialog para pemainnya, sangat menguji  kemampuan para aktor. 

Pada pertunjukan ini, para pemain yang lintas generasi dan juga pendekatan dan pengalaman pemain yang berbasis kampus dan sanggar, tentu memiliki perbedaan gaya permainan. Ada yang harus menurunkan level permainannya, dan harus ada yang dipaksa menaikkan levelnya. Tuntutan dapat meluruh menjadi kesatuan permainan tidak dapat ditawar.

Tantangan ini sangat disadari oleh sang sutradara, Prof. Dr Yudiaryani, MA., seorang Guru Besar FSP ISI Yogyakarta. Persiapan yang dilakukan untuk pementasan cukup panjang. Mereka telah berlatih secara rutin tiga kali dalam seminggunya selama lima bulan, dan seminggu menjelang pentas, latihan dilakukan setiap hari. Sang sutradara, terlihat teliti dan "sedikit keras" melatih para pemainnya, mencermati detil property, termasuk benda-benda kecil seperti tas, dompet ataupun tempat rokok,  untuk mendapatkan hasil terbaik.

"Naskah ini sangat bagus. Well made play dan cocok untuk pembelajaran panggung teater terutama bagi mahasiswa, karena naskah ini sering disebut sebagai naskah standar. Ada prinsip-prinsip pemanggungan yang bisa diuji coba untuk lebih kontekstual," jelas Yudiaryani tentang pemilihan lakon ini.

Sebagai naskah,  "A Screetcar Named Desire" yang mulai ditulis sejak tahun 1945 dan dipanggungkan Broadway pertama kali pada tahun 1947, berhasil mendapatkah penghargaan Pulitzer di tahun 1948. Lakon yang kemudian dijadikan film dengan para pemain yang sama saat dipanggungkan, kecuali peran Blanche DuBois yang digantikan dari Jessica Tandi ke Vivien Leigh. Film tersebut yang meraih tiga Oscar, merupakan film pertama dari Marlon Brando, yang membawanya kepada ketenaran.

Lakon ini mengisahkan Blanche Dubois, seorang keturunan bangsawan Perancis, kehilangan rumah keluarga di Belle Reve, dengan menaiki trem bernama Desire, tiba di kota New Orlean untuk mengunjungi adiknya, Stella kowalsky. Blanche tetap menunjukkan karakter kebangsawanannya dan menutupi situasi kehidupannya. Di sini, ia bertemu dengan Mitch, bujang lapuk, yang ia harapkan akan menikahinya. Stanley Kowalsky, suami adiknya, membongkar masa lalu Blanche, dan Mitch-pun mencari kebenaran tentang Blanche, yang kemudian membuatnya mengambil keputusan tidak jadi menikahi Blanche.

Blanche yang mencoba mencari perlindungan untuk mendapatkan cinta kasih dan kedamaian, hanya mendapatkan kegagalan dan kekecewaan.  Ia menjadi pemimpi dan hidup dalam kepura-puraan, yang kemudian berakhir menuju Rumah Sakit Jiwa.      

Seminggu sebelum pertunjukan, saya berkesempatan menonton latihannya, juga menyaksikan gladi kotornya, dua hari jelang pementasan. Dari dua latihan yang saya tonton, sebagai pertunjukan, mereka telah siap.

Semalam, pertunjukan hari pertama, yang ditujukan kepada para undangan, saya berkesempatan menyaksikannya.  Secara umum, pertunjukan dengan durasi 2 jam 40 menit berjalan lancar.  Ada sedikit keterkejutan, jika membandingkan saat gladi kotor, terjadi penurunan kualitas permainan dan 'sedikit kekacauan' blocking para pemain, yang mengakibatkan, dukungan dari tata lampu menjadi tidak optimal, dan penampilan kurang prima disaksikan, kendati masih 'agak sedap' sebagai tontonan. Iringan musik yang dikomandani R. Chaerul Slamet, yang beberapa waktu mendapatkan gelar Doktor, cukup ciamik mendukung pementasan ini.

Semoga pertunjukan di hari kedua, malam nanti, kembali prima, sebagaimana saat gladi bersih (yang sengaja tidak saya saksikan, dan menurut keterangan beberapa kawan) menjadi pertunjukan yang sempurna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun