Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teater di Bogor Tahun 1970-an

28 Januari 2019   16:19 Diperbarui: 28 Januari 2019   17:31 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tempo, 29 Desember 1973

Dibentuknya Dewan Kesenian Jakarta melalui  Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, No. lb.3/2/19/1968, tertanggal 3 Juni 1968 yang diikuti dengan pendirian Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menempati lahan bekas Kebun Binatang di daerah Cikini, dengan beragam aktivitas yang dilakukan telah mampu menjadikan TIM sebagai ruang ekspresi dan barometer kesenian di Indonesia.  Ini memenuhi harapan sang Gubernur Ali Sadikin, bahwa TIM tidak sekedar menjadi ruang ekspresi dan pusat kesenian bagi Jakarta saja, melainkan juga secara nasional.

Saat peresmian TIM pada 10 November 1968, yang dihadiri oleh Menlu Adam Malik, Anggota DPR GR, DPA, para duta besar dan undangan lain, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menekankan bahwa bahaya paling besar memecah seniman-budayawan sehingga menyebabkan suasana kebudayaan menjadi kotor adalah akibat dianutnya paham "Politik sebagai panglima". Zaman fitnah-memfitnah dan ganyang mengganyang di bidang kebudayaan tidak boleh terulang lagi. Politik tidak boleh mengadakan intervensi di Pusat Kesenian ini. Seniman dan budayawan harus menciptakan karya-karya seni untuk keseluruhan kebudayaan bangsa kita.

Serangkaian kegiatan kesenian, salah satunya adalah teater menampilkan Teater Populer Hotel Indonesia dengan lakon JANGAN KIRIMI AKU BUNGA karya Norman Barash & Karl Moore, terjemahan Wahab Abdi, disutradarai Teguh Karya (11 November 1968). Sedangkan Teater Kecil mementaskan MATA PELADJARAN karya Eugene Ionesco dan PEMBURU PERKASA (13 November 1968) dan BPTNI mementaskan LAUTAN BERNJANJI karya Putu Widjaja (14 November 1968).

Pada pementasan teater Tiga Kota tahun 1969, selain Teater Populer HI dan Teater Kecil, , turut tampil Bengkel Teater dari Yogyakarta pimpinan WS Rendra dengan "Mini Kata" dan Teater Perintis dari Bandung Pimpinan Jim Lim dengan "Bangau Sendja".

Begitulah, TIM seakan menjadi ruang merdeka bagi para seniman untuk mengembangkan kreativitas dan ekspresinya. Pada bidang teater, DKJ kemudian memberikan fasilitas khusus bagi tiga kelompok, yakni Teater Populer pimpinan Teguh Karya, Teater Kecil dibawah pimpinan Arifin C Noer, dan Bengkel Teater Yogyakarta di bawah pimpinan WS Rendra. 

Mereka mendapatkan dukungan dana dan fasilitas lainnya untuk tampil setiap tiga bulan sekali. Target dari pengurus DKJ bahwa setidaknya ada satu kali pementasan teater di TIM setiap bulannya. Pimpinan Tiga kelompok tersebut yang kemudian dikenal sebagai "Tiga Pendekar" Teater Modern Indonesia. 

Di luar ketiga kelompok tersebut, DKJ melakukan seleksi yang sangat ketat agar suatu kelompok dapat tampil di TIM dengan dukungan dana dan fasilitas dari mereka. Tidak terlalu lama, TIM menjadi pusat dan barometer kesenian di Indonesia. Dapat tampil di TIM berarti dapat diakui eksistensi seseorang atau suatu kelompok secara nasional.

Keberadaan DKJ dengan TIM-nya, menjadi pendorong yang kuat bagi para pegiat kesenian di berbagai kota di wilayah Indonesia untuk mengadakan hal serupa, yakni membentuk Dewan Kesenian dan atau gedung-gedung kesenian, termasuk di kota Bogor.

Studi Teater Bogor masih merupakan kelompok yang paling aktif melakukan produksi. Pada tahun 1970, tercatat ada lima pementasan yang dilakukan oleh kelompok ini, yakni Pangeran Wiraguna" (2 Mei) "Lalat" dan "Rombengan dari Khayangan" (6-7 Mei), "Orang Kasar" (16 Oktober) dan "Kematian Oddyseus" (Desember) yang kesemuanya dipentaskan di kota Bogor.

Bagaimana dengan pementasan di TIM? Sebuah pertanyaan yang diajukan dalam sebuah pemberitaan (lihat, Kompas, 28/10/70). Saat ditanya demikian, Umar Machdam menjawab "Masih lima tahun lagi mungkin," ada kegetiran dalam ketawanya. Maklum, saat itu, rencana pementasan mereka di TIM ditolak setelah mempersiapkan latihan selama tiga bulan untuk membawakan lakon "Pangeran Wiraguna" karya Mochtar Lubis.

"Kalau bung melihat latihan-latihan saya waktu itu, bung akan ikut ngeri. Karena waktu itu, saya persis singa di tengah tikus-tikus. Pemain-pemain biasa saya bentak: Kalau kalian mau main drama, berlatihlah dengan benar. Kalau cuma mau main-main, dipersilahkan keluar saja. Drama tidak membutuhkan kalian. Hasilnya? Lumayan. Mereka berlatih tekun. Maklumlah mau muncul di TIM. Seringkali kami berlatih dari jam 5 sampai jam 2 malam".

Giginya yang rapi tampak makin banyak kelihatan karena semakin banyak ketawa. Tetapi ketawa yang kecut. "Satu bulan latihan saya masih seperti singa. Dua bulan latihan saya berubah menjadi kerbau. Tiga bulan latihan saya menciut menjadi tikus karena waktu itu saya mendapat surat dari seorang Jendral DKD bagian Drama, yang menyatakan bahwa naskah yang akan saya pentaskan tidak memenuhi syarat."

Umar Machdam diam. Tidak lagi menyeringai. "Naskahnya ditolak. Bukan, bukan ditolak, tetapi katanya naskahnya tidak memenuhi persyaratan. Pengarang Indonesia mana yang mendapat Nobel? Dan lagi kenapa kita dibiarkan latihan selama tiga bulan tanpa mereka mau melihat, lalu ditolak?"

Pementasan Studi Teater Bogor
Pementasan Studi Teater Bogor
Pada awal tahun 1971, barulah Studi Teater Bogor berhasil menembus seleksi ketat dari TIM. Atas dukungan dari Dewan Kesenian Jakarta, mereka mementaskan "Kematian Oddysseus" karya  Lionel Abel, terjemahan Mohammad Diponegoro dengan sutradara Umar Machdam pada tanggal 21-22 Januari. Disusul dengan kesempatan tampil dalam lakon "Sandiwara" karya Putu Wijaya (11-13 Desember 1973), dan "Salman El Farishi" karya Ahmad Zein, terjemahan Mustafa Mahdami (25-27 Mei 1974).

Kesempatan Studi Teater Bogor, menempatkan kota Bogor sebagai kota ke lima dari kelompok teater dari luar Jakarta yang berkesempatan tampil di TIM, setelah sebelumnya dari Yogyakarta, Medan, Surabaya dan Kudus.  

Pada Oktober 1971, berdiri sebuah Sanggar Sastra bernama KUMBARA (Kumpulan Bocah Kreatif) yang dipimpin oleh FX Puniman yang juga menjadi anggota Teater Kecil pimpinan Arifin C Noer. Kelompok yang dibina oleh Romo Broto ini sepanjang tahun 1971-1972 sangat aktif menyelenggarakan acara sastra dan teater. 

Adri Darmadji (Sinar Harapan, 9 Juli 1975) dalam sapaannya kepada pegiat kesenian kota Bogor, mencatat kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh Kumbara selama periode tersebut. Kegiatan pertama adalah pembacaan puisi dari penyair-penyair Indonesia dan Dunia, kedua diskusi dengan menghadirkan Romo Broto, dan 26 Desember 1971 menyelenggarakan apresiasi seni yang melibatkan seniman Bogor, Jakarta dan Yogyakarta. Sugiono MP (Berita Yudha, 28 Desember 1971) mencatat proses kegiatan tersebut.  

Pembacaan puisi yang dilakukan dua orang anggota Bengkel Teater Yogya dan anggota Studi Teater Bogor, Torro Margen dari Teater Remaja Jakarta yang menyajikan Improvisasi dan Subijanto yang tampil dengan monolog "Kasir Kita" karya Arifin C. Noer. Drama "Pangeran Cilik" ditampilkan oleh SMP Fransiscus pimpinan Saliban Sastra yang dilanjutkan ceramah oleh Pramana Pmd dan Wahyu Sihombing pada Januari 1972 (Kompas, 26 Januari 1972). 

Pada Pebruari 1972, menghadirkan Emmanuel Subangun untuk berbicara tentang "Amir Hamzah Sebagai Penyair Mistik". Pada sebuah pembicaraan dengan FX Puniman beberapa waktu lalu, ia menyatakan bahwa Kumbara juga pernah mementaskan drama "Bolero Hijau".

Perkembangan lain adalah kehadiran sebuah kelompok yang menamakan dirinya "TEATER SALON" dengan pendirinya Jos Sudrajat dan JA Lastawan. Keduanya pernah aktif di Studi Teater Bogor. Mereka sempat mementaskan "Taman" karya Iwan Simatupang pada 29 Juli 1972. Kehadiran kelompok ini dapat menjadi angin segar bagi perteateran di Bogor yang sebelumnya hanya diwarnai oleh Studi Teater Bogor (Lihat Ukar R, Suara Karya, 3 September 1972). Sayang mengenai perkembangan dan kiprah kelompok ini tidak terlacak dalam pemberitaan media.

Teater Remaja Bogor pimpinan Eman Sulaeman, yang belum saya ketahui tanggal pendiriannya, tercatat melakukan pementasan drama anak-anak di TIM pada 13 Mei 1973. Lakon yang dimainkan yakni "Putera Mahkota dan Tukang Tenung". Pada masa itu, TIM memiliki program pementasan drama anak setiap sebulan sekali. (Lihat, Kompas, 19 Mei 1973).

Ada kondisi ketidakharmonisan antara Pemerintah Daerah Kota Bogor dengan para seniman. Fasilitas dan prasarana di Bogor sangat kurang jika dibandingkan dengan semangat kerja remaja-remajanya yang bergelut di dunia kesenian. Hal ini menjadi salah satu faktor bagi Studi Teater Bogor untuk menghentikan aktivitasnya setelah pementasan "Salman El Farishi" di tahun 1974. Namun, di tahun 1975, mereka masih terlihat dalam pementasan "Rabiah El Adawiyah" di Jakarta dan Surabaya. Setelahnya, tidak terdengar lagi kegiatannya. Dan, Bogor sepertinya senyap dengan kegiatan-kegiatan teater.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun