Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Jogja Ora di Dol", dalam Kacamata Anak-anak

14 Agustus 2018   09:44 Diperbarui: 14 Agustus 2018   10:19 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Berat!" pikiran yang terlintas di kepala saya, saat adegan pembuka pementasan Teater Bocah Jogja, yang membawakan repertoar "Korban Jaman #2 (Episode Surat Untuk Tuhan" karya bersama Suwarto Peyot, Wahyana Giri MC dan Novi Susanto di Taman Budaya Jogjakarta, 10 Agustus 2018.

Pementasan yang disutradarai oleh Dina Megawati, itu berat pada tema untuk dibawakan anak-anak. Lintasan pikiran itu muncul tatkala puluhan pemain yang berada di panggung, berjejer, lalu melompat dengan menaikkkan kedua tangan mereka ke atas seraya berteriak bersama "Jogja Ora Didol" (Jogja tidak dijual), yang dilanjutkan kru musik menyanyikan lagu dari Jogja Hip-Hop ciptaan Marzuki Muhammad, dengan judul slogan tersebut.

"Jogja Ora Didol" satu istilah yang tiada asing lagi khususnya bagi masyarakat Yogya dan bahkan mungkin di Indonesia, sebagai satu sikap gerakan "perlawanan" terhadap fenomena tumbuhnya hotel dan apartemen beberapa tahun terakhir.

Berbagai aksi mulai dari kegiatan-kegiatan budaya hingga demonstrasi, dan sempat pula menimbulkan korban aktivis yang dianggap sebagai provokator demonstasi masyarakat menentang apartemen, harus mendekam di penjara selama tiga (3) bulan 15 hari. Kampanye "Jogja Ora Didol" tersebar melalui berbagai poster yang tertempel di tempat-tempat strategis, kaos-kaos, film, dan lebih populer lagi melalui lagu.  

Dan, istilah ini, malam itu, digemakan bersama oleh puluhan anak-anak, di awal pementasan, dalam repertoire yang dibuat Wahyana Giri dan Suwarto Peyot. Wahyana Giri yang pertama saya tahu dan kemudian kenal (pernah atau masih) terlibat aktif sejak tahun 1990-an mengembangkan pementasan-pementasan yang melibatkan kelompok marginal, sebagai salah alat aspirasi dalam memperjuangkan kepentingan mereka yang terabaikan dalam proses pembangunan.

Diantaranya adalah kelompok-kelompok Pekerja Rumah Tangga di DIY, dan pementasan oleh para Pekerja Seksual Komersial Parang Tritis. Teater Rakyat, Teater Pendidikan, Teater Pembebasan, barangkali itu yang dapat dilekatkan dalam sebagian kiprah Wahyana Giri. Media yang pernah digunakan secara khusus dan terorganisir oleh Yayasan Pengembangan Budaya (Warsito Cs) Kelompok Teater Rakyat Indonesia (Simon Hate, Djoko Kamto, Agus Istijanto, Eko Winardi, dan Angger Jati Wijaya), PUSKAT (Fred Wibowo Cs), dan kawan-kawan ISI (seperti Brotoseno, Japrak, Jumlali, Agus Noor, Joko).  

Dokpri
Dokpri
Selanjutnya, setelah rombongan anak-anak keluar panggung, tinggal salah seorang tokoh yang  bermonolog, dengan kata-kata gugatan. "Ah, anak-anak ini menyuarakan aspirasinya atau digunakan untuk menyuarakan kepentingan orang-orang dewasa?" lintasan pertanyaan di kepala.

Adegan-adegan selanjutnya, membuyarkan pikiran negatif saya. Kendati, isu yang diangkat adalah soal "besar" atas tumbuhnya hutan-hutan beton yang kaku, namun dilihat dari sudut pandang anak-anak.

Kisahnya tentang keresahan dua kelompok anak, yakni anak-anak kampung dan anak jalanan, yang biasa menggunakan sebuah lahan sebagai tempat bermain dan tempat beristirahat. Properti di panggung menunjukkan sisa reruntuhan sebuah bangunan: separo tembok, sebuah pilar yang terbujur. Ada dua buah pohon di sisi kiri panggung.  

Kelompok anak jalanan resah tentang tempat istirahat (bermalam) mereka jika lahan tersebut dijadikan hotel. Kelompok anak kampung resah, di mana lagi mereka akan bermain. Diskusi lebih intens dilakukan oleh anak-anak kampung untuk mencari cara agar pembangunan hotel dapat digagalkan. Mereka melihat, segala upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk menentang pembangunan hotel sudah banyak dilakukan, dan semuanya tidak menunjukkan hasil.

Akhirnya mereka bersepakat untuk mengirimkan surat kepada Tuhan. Surat beramplop coklat mereka gantungkan di sebuah pohon. Dua orang  dewasa (petugas keamanan?) melihat gantungan surat itu, membawa turun dan membacanya. Mereka memutuskan untuk membalas surat tersebut, menggantungkan jawaban yang dimasukkan ke dalam amplop putih, dan digantungkan kembali ke pohon. Kelompok anak sangat bergembira melihat amplop balasan tersebut. Dengan antusias surat diturunkan, kemudian dibaca oleh salah seorang anak.

Dua orang dewasa itu masuk dan menyampaikan bahwa keluhan telah disampaikan kepada pihak yang berwenang di kota, dan pembangunan akan digagalkan. Selain itu, ada kunjungan dari anggota parlemen pusat yang akan menemui mereka. Dan hadirlah anggota parlemen (Esti Wijayati, Anggota DPR RI), yang kemudian berdialog dengan anak-anak. Disampaikan bahwa sebuah kota, setidaknya 30% lahannya harus diperuntukkan bagi ruang-ruang publik termasuk ruang bermain bagi anak-anak.

Dokpri
Dokpri
Dari keterbatasan saya menyaksikan pementasan teater anak, kecenderungannya pementasan minim dialog dan lebih mengutamakan gerak/tarian kolosan dan lagu-lagu. Ini tampaknya dapat dipahami untuk mengatasi keterbatasan kemampuan anak dalam menghafal dialog, selain gerak dan lagu yang barangkali dinilai lebih mudah dinikmati oleh anak-anak. Tapi, dalam pementasan kali ini, kita disuguhi oleh sebuah lakon realis yang mengedepankan dialog-dialog.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun