Mohon tunggu...
Ahmad Ihwan Kamil
Ahmad Ihwan Kamil Mohon Tunggu... Musisi - apatis bersuara

Sekumpulan suara bisu yang menggema, saling bersahutan dalam senyap, lalu menjadi raungan di malam yang tak terbentuk.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abstraksi Si Kecil

29 Agustus 2021   21:49 Diperbarui: 29 Agustus 2021   22:05 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pencarian dalam wayang sekejap tak berubah dalam benaknya. Satu hari yang lalu akan membuat sebuah semesta merayu dengan anggun gemulai. Dalam kicau burung, bermesraan sang pohon bersama akar. Menjulang tinggi segala fantasi. Menolak rendah segala yang terhubung untuk menjadikan ia sebagai ratu. Dibalik layar terbongkar semua yang kasat, semua fana. Dalam buaian janji ia masih menolak. Meraung-raung segala asa yang terangkum dalam diam.

Musik masih bersuara, bahkan makin kencang, menghiasi ruangan kosong yang kedap suara. Air meluncur deras dipembaringannya, entah pergi kemana, entah untuk apa. Tumpukan buku masih menganggur menunggu panggilan, untuk mengisi kosong waktu mereka saling bergurau, bahkan bercinta di tempat sepi tentunya. Kipas masih berputar sesuai porosnya walau tak ada orang yang ia layani. Baju-baju mahal menggurutu karna tak pernah dipakai lagi, terakhir kali dipakai waktu pesta lalu, ia ingin dipakai lagi, walau untuk tidur pun tak masalah asalkan tak nganggur pikirnya.

Suara gesekan sandal terdengar, entah siapa yang datang dan untuk apa. Rupanya si kecil yang datang, ia mencari mainan, dikoreknya lemari baju tapi tak dapat, ia terus mencari, mencari, dan mencari. 

Namun tak dapat, mungkin ia salah tempat. Si kecil putus asa, mainanannya tak Nampak, lalu ia meluncur dengan muka masam, diseretnya sandal yang sudah tak muat. Ia menghilang entah kemana bersama sandal kecilnya yang bersuara nyaring.

Di dapur, wajan menjadi arena tanding si wortel segar dengan cabai yang sudah berganti bentuk menjadi halus. Pertempuran seru menghasilkan bau yang sedap, khas cabai. 

Di luar arena, bawang merah dan bawang putih yang sudah akur menunggu. Mereka tak sabar untuk membantu si cabai yang mulai kelelahan. Tak mau kalah, si wortel memanggil teman-temannya yang hampir berpisah saban lalu. Ada mentimun dan kol yang angkuh, mereka siap membantu si wortel walau saban lalu hampir berpisah karena asmara. 

Tapi, ada kejadian tak terduga yang membuat mereka tak saling bertarung. Wajan yang menjadi arena, tersiram air bah yang datang entah dari mana. Air bah cukup membuat si wortel dan cabai tenggelam bersama, bahkan penonton ikut tenggelam. 

Entah bagaimana akhir ceritanya, akan tetapi si wortel, mentimun, kol, cabai, bawang merah, dan bawang putih sudah dievakuasi di tempat aman bersama piring putih yang terdapat nasi, dan mangkok putih yang terhias ayam jago.

Kabar tenggelamnya mereka menyebar luas, tak terkecuali se seluruh penghuni kulkas lantai paling bawah. Seluruh penghuni lantai bawah merasa was-was, merasa tak aman, dan berniat untuk melakukan pencegahan agar bencana yang datang tak terulang kembali. 

Akhirnya mereka sepakat untuk melakukan kampanye pencegahan diri terhadap bencana yang mungkin datangnya tiba-tiba. Mereka saling menjaga satu sama lain, tak ada lagi pertarungan diantara sesama. Mereka nampaknya merasa trauma dan tak mau kejadian yang lalu menimpa mereka lagi. 

Tak sampai disitu mereka beramai-ramai melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, terjadi adu argument diantara mereka. Ada yang menuntut agar pihak wajan yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, ada lagi yang menyalahi ketua adat masing-masing karena mereka mewarisi pertarungan yang tak berguna. 

Ada lagi yang menyalahi pihak penanggulangan bencana yang tak informatif perihal keadaan, tempat, dan cuaca pada waktu itu. Semua saling menyalahi hingga membuat lantai paling bawah bising suara, yang membuat penghuni seluruh kulkas keluar kamar, mereka menonton dan ikut menggurutu kerena bising suara yang diciptakan mereka.

Mendengar ramai suara, si kecil pun membuka kulkas mengecek ada apa gerangan disana. Tapi ia ragu untuk membuka kulkas, mungkin ia juga takut untuk membukanya, dan pada akhirnya ia pun tak jadi membukanya. Lebih baik mencari mainanku pikirnya dan ia pun lanjut mencari mainannya yang tak kunjung ketemu. 

Hampir separuh jam ia membunuh waktu, namun si kecil tak dapat-dapat. Sudah ia razia ke segala tempat, ruangan, lemari, bahkan rak, tapi tak dapat-dapat. Akhirnya ia menyerah entah karena putus asa atau lelah.

Dengan keadaan lelah atau putus asa, ia raih kuas beserta teman akrabnya. Si kecil mulai menari memainkan warna, ia lukis dengan gerakan sebal. Hingga lukisan yang tak bertema hampir terlihat, si kecil fokus untuk menyelesaikan lukisannya. 

Ia terus menari menggerakan jarinya yang lentur di kanvas yang sudah penuh dengan campuran warna. Kadang ia berhenti sejenak untuk mengusir penat yang menghinggap. 

Kadang juga ia pergi ke meja makan, untuk mengambil air sisa makannya tadi agar haus tak menyerang lagi. Lalu ia lanjut dan pada akhirnya ia pun berhasil menyelesaikan lukisan abstraknya. Lukisan abstrak si kecil terinspirasi dari pikiran yang putus asa karena tak kunjung dapat mainannya yang hilang. 

Si kecil pun memajang lukisannya di dinding kosong tak berpenghuni, ia terlihat bangga dengan lukisan yang ia buat, disamping keputus asaannya yang tak kunjung menemukan mainannya yang hilang. Tapi, bagaimanapun si kecil tetap merasa senang bahkan gembira.

25 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun