Indonesia sebagai negara dengan keberagaman budaya memiliki banyak tradisi dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Salah satu tradisi yang masih lestari di kalangan masyarakat Jawa Timur adalah Megengan. Tradisi yang biasanya disebut Megengan ini ditandai dengan adanya kenduren atau doa bersama yang dihadiri oleh keluarga, tetangga, dan kerabat, selain itu megengan disebutkan sebagai manifestasi rasa syukur, penghormatan terhadap leluhur dan persiapan dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Salah satu aspek penting dari Megengan adalah semangat gotong royong yang tercermin dalam proses persiapannya. Warga saling berbagi makanan, bekerja sama dalam menyiapkan kenduri, dan berbagi tugas dalam penyelenggaraan acara. Tradisi ini mempererat hubungan sosial dan menciptakan rasa kebersamaan di tengah masyarakat. Gotong royong dalam Megengan menunjukkan bahwa tradisi ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah mekanisme sosial yang menguatkan solidaritas antar warga.
Menurut (tubankab.go.id (2025)), "Secara sejarah, megengan merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam yang diperkenalkan oleh Wali Songo". Maka dari itu megengan memiliki makna spiritual yang mendalam. Kata "megeng" dalam bahasa Jawa berarti "menahan", yang merefleksikan esensi utama dari puasa Ramadhan, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan ibadah. Jajanan khas yang disajikan dalam acara ini, seperti kue apem, juga memiliki simbolisme religius. Apem berasal dari kata "afwan" dalam bahasa Arab yang berarti maaf, mencerminkan pentingnya saling memaafkan sebelum memasuki bulan suci. Namun ada sumber yang menuliskan apabila menurut filosofi Jawa, Apem merupakan simbol tolak bala dan permohonan pengampunan atas berbagai kesalahan. (suaramuslim.net (2023))
Tradisi ini menjadi wujud nyata dari kearifan lokal yang perlu dijaga dan dilestarikan, karena tidak hanya memperkuat identitas budaya, tetapi juga membangun keharmonisan sosial dan spiritual dalam masyarakat. Dengan mempertahankan Megengan, masyarakat Jawa Timur menunjukkan bahwa budaya dan agama dapat berjalan berdampingan. Seperti yang dinyatakan oleh Benedict Anderson (1991), "identitas budaya yang kuat memungkinkan masyarakat untuk tetap bersatu dalam menghadapi perubahan zaman."
Di zaman yang serba modern, megengan mengalami berbagai adaptasi, seperti penggunaan media sosial sebagai sarana koordinasi acara, inovasi dalam penyajian makanan, serta keterlibatan komunitas yang lebih luas, termasuk generasi muda. Beberapa daerah juga mengemas Megengan dalam bentuk festival budaya yang menarik wisatawan, misalnya, Desa Jajar di Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, yang menyelenggarakan "Megengan Show: Festival Ambengan Rakyat" . (trenggalekkab.go.id (2022)) , menjadikannya tidak hanya sebagai tradisi keagamaan tetapi juga sebagai sarana memperkuat nilai kebersamaan di tengah masyarakat yang semakin dinamis. Adaptasi ini menunjukkan bahwa Megengan tetap relevan dan mampu bertahan sebagai bagian dari identitas budaya Jawa Timur di tengah arus modernisasi.
Oleh karena itu, generasi muda diharapkan dapat berperan aktif dalam menjaga dan melestarikan tradisi ini. Keterlibatan generasi muda tidak hanya memastikan keberlanjutan warisan budaya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap leluhur. Sebagai generasi penerus, kita wajib memiliki tanggung jawab untuk memahami makna mendalam dari tradisi yang menjadi kearifan lokal daerah dan mengadaptasinya sesuai dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan esensi tradisi tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI