Dalam perjalanan hidup, saya makin sering menyadari satu hal  manusia sangat cepat menilai orang lain hanya dari apa yang terlihat di permukaan. Kita hidup di dunia yang penuh dengan standar duniawi seberapa banyak harta yang dimiliki, setinggi apa jabatan, sebagus apa penampilan, atau seberapa terkenal seseorang di media sosial. Semakin mencolok penampilannya, semakin tinggi pula nilai seseorang di mata banyak orang. Padahal belum tentu begitu di hadapan Allah.
Jujur, saya pun pernah terjebak dalam pola pikir itu. Melihat orang dengan pekerjaan yang rendahan lalu secara tak sadar merasa kasihan, atau bahkan meremehkan. Tapi lama-lama saya sadar, ternyata ukuran manusia itu bisa sangat menipu. Kita begitu fokus pada pencapaian dunia, sampai lupa bahwa Allah punya cara menilai yang sangat berbeda dari manusia.
Manusia memuliakan yang kaya, yang berpendidikan tinggi, yang punya pengaruh. Tapi Allah tidak melihat itu. Allah tidak menilai dari baju yang kita pakai, seberapa canggih gadget kita, atau di mana kita bekerja. Yang Allah lihat adalah hati dan amal. Sesuatu yang tak kasat mata, tapi justru jadi penentu derajat seseorang di sisi-Nya.
Saya teringat kisah sahabat Nabi, Bilal bin Rabah. Seorang budak berkulit hitam yang mengalami siksaan luar biasa karena memeluk Islam. Secara status sosial, Bilal adalah orang kecil. Tapi Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa beliau mendengar suara langkah Bilal di surga. Betapa luar biasanya posisi seseorang yang dulunya dianggap hina, tapi karena keteguhan iman dan amalnya, dia justru dimuliakan oleh Allah.
Ada juga kisah para nabi yang hidup sederhana. Nabi Musa AS adalah penggembala sebelum menerima wahyu. Nabi Muhammad SAW menggembala kambing, berdagang dengan jujur, dan bahkan ketika menjadi pemimpin, tetap hidup dalam kesederhanaan. Hidup mereka tidak mewah, tapi penuh berkah. Mereka tidak dikenal karena gaya hidup glamor, tapi karena akhlak, integritas, dan ketakwaan mereka.
Lalu saya pun merenung bagaimana dengan kita? Kita seringkali menilai seseorang dari pekerjaan atau cara berpakaiannya. Tukang sapu jalan dianggap "kecil", pemulung dianggap hina, dan pedagang kaki lima dianggap "biasa-biasa saja". Tapi siapa tahu, di balik hidup sederhana mereka, ada amalan luar biasa yang tak terlihat. Mungkin mereka rajin tahajud, istiqamah sedekah, jujur dalam berdagang, dan sabar dalam menghadapi kesulitan. Bukankah itu lebih mulia daripada orang yang terlihat sukses, tapi hartanya berasal dari riba atau hasil menipu orang lain?
Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa."
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini selalu mengingatkan saya bahwa kemuliaan bukan soal siapa yang paling "hebat" di dunia. Tapi siapa yang paling bertakwa yang paling tunduk, paling ikhlas, dan paling bersih hatinya. Kemuliaan sejati bukan dinilai dari berapa banyak harta yang kita punya, tapi dari bagaimana kita memperlakukan harta itu. Apakah digunakan untuk membantu sesama atau justru untuk menyombongkan diri?
Sering kali kita terjebak dalam ilusi kesuksesan. Kita merasa hebat karena pekerjaan kita terlihat bergengsi. Kita merasa lebih baik karena hidup kita lebih teratur. Tapi kita lupa, belum tentu hidup kita ini lebih berkah. Bisa jadi, orang-orang yang kita anggap remeh justru lebih tenang dan lebih dekat kepada Allah.
Saya pun belajar untuk menahan diri dari menilai orang lain secara cepat. Karena kita tidak pernah tahu isi hati dan amalan seseorang. Kita juga tidak tahu ujian seperti apa yang sedang mereka hadapi. Dunia ini fana, semua yang dipuja-puja manusia hari ini kekayaan, popularitas, kecantikan suatu hari akan hilang. Yang tersisa hanyalah amal kita.