Mohon tunggu...
obik andawiya
obik andawiya Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dibalik Megahnya Tiang Pancang Suramadu

5 Agustus 2016   11:56 Diperbarui: 5 Agustus 2016   12:07 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sipil-konstruksi.blogspot.com

Jika mau hendak industri, ya industri yang islami. Semua harus jelas, membangun Madura atau membangun di Madura. Jika membangun Madura, maka pembangunan tersebut akan membuat Ratoh (pemerintah) tertawa dan rakyat tersenyum serta menyejahterakan Madura. Jika membangun di Madura, maka Madura hanya dijadikan aset dan objek dari pekerja asing yang menguras kekayaan alam Madura.

Sejak tahun 1990 tentang pengeluaran keputusan Presiden RI No. 55 tahun 1990 tentang pembangunan Surabaya Madura hingga 1997 mengenai penundaan pembangunan jembatan dikarenakan krisis nilai rupiah akan dollar. Maka mulailah pemerintah melepaskan tanah sebagian penduduk Madura di desa Pangpong dan Sekar Bungoh sebagai pembangunan jalan tol. Tanah yang semula ditawarkan masyarakat sekitar Rp. 90.000,00 – Rp. 10.000,00/ m2 hanya dibebaskan seharga Rp. 7.000,00/ m2. Triplek yang tidak bisa menumbuhkan padi saja dihargai Rp. 10.000,00, sementara tanah yang bisa menumbuhkan tanaman hanya 7.000 per meter.

Mereka yang semua keluarganya dijanjikan untuk bekerja di proyek tersebut malah hanya 3 orang warga yang dipekerjakan. Alasannya, usia yang tidak cukup bagi lulusan SMP yang pengangguran. Bahkan mereka mengundang tenaga kerja dari Surabaya. Parahnya lagi, mereka hanya mendapat bayaran Rp. 7.500,00 per hari tanpa makan dan uang rokok. Ini berbeda jauh dengan budaya masyarakat Madura yang biasa memberikan makan dan rokok kepada pekerja atau petani yang mengurusi tanahnya.

Salah seorang warga juga pernah ditugaskan untuk mengantarkan barang-barang ke Surabaya. Namun setelahnya, ongkos  hanya diberikan setengah dari perjanjian semula dan akan diberikan di kemudian hari. Tapi sampai batas waktu itu tiba, mereka tetap tidak melunasinya. Ini masih mengerjakan proyek saja rakyat sudah menderita, apalagi nanti kalau industrialisasi. Papar salah satu warga.

Selain itu, nasib warga lainnya tidak kalah menderita. Sebut saja Pak Abdul. Setelah tidak lagi bekerja di proyek itu, hidupnya hanya bergantung pada gaji pensiunannya, ditambah lagi dengan istrinya meninggal tanpa sebab hingga akhirnya seringkali dia merasa shock dan duduk di depan rumahnya dengan tatapan kosong sambil berkata “Aduh, kiamat sengko’ ya!” (Aduh, kiamat rasanya aku ini).

Karena shock dengan naiknya harga tanah sehingga uang tebusan yang didapat tidak mampu membeli tanah yang baru, 3 orang warga harus ditangani oleh psikiater. Mereka telah berjuang mempertahankan tanah kelahirannya, tidak mau jika tanahnya dijual dengan harga sebegitu rendahnya.

Kini jembatan itu telah membentang sepanjang saat kita menyeberangi Surabaya-Madura atau sebaliknya. Begitu megah. Bahkan semenjak baru jembatan itu diselesaikan, banyak pengemudi yang mencuri kesempatan untuk mengambil gambar, selfie ria dan melepas senyum kebanggaan.       Kita bisa melihat lautan yang luas, rumah-rumah di bagian tepi barat dan timur, apalagi saat pada malam hari dipenuhi lampion-lampion cantik yang kadang sempat membuat si penumpang mobil terbangun dari tidur untuk sekedar melihat panjangnya jembatan ini membentang.

Sumber: sipil-konstruksi.blogspot.com
Sumber: sipil-konstruksi.blogspot.com
Sumber tulisan dalam buku karangan Muthmainnah, “Jembatan Suramadu Respon Ulama terhadap Industrialisasi”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun