Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melawat ke Banda

23 September 2022   08:00 Diperbarui: 23 September 2022   08:12 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melawat ke Banda, sumber gambar Novita

Aku baru saja menyelami keindahan laut Banda dari sorot matanya. Melihat terumbu karang yang membentang di sepanjang laut seperti tebal rambut ikalnya yang berkilau seumpama ikan-ikan yang berenang di bawah matahari siang. Bagiku, apa-apa yang menjadi cerita hidupnya akan selalu menarik, kecuali akhir dari cerita kami berdua.

Sanif Kohunusa namanya, kami berkenalan dekat selama sepekan, lewat kegiatan organisasi lingkungan yang diadakan di pulau Jawa. Dia cukup tinggi untuk ukuran laki-laki berusia 26 tahun, kulitnya coklat, dan ramah, kukira siapapun yang bertemu dengannya akan merasa demikian. Bahkan aku pernah mendengar dia berucap, untuk selalu bisa mengenal orang-orang baru, termasuk aku yang berasal dari Sumatera.

Kupikir, perkenalan ini tidak akan terjadi jika sejak awal aku tidak mengenal Moh.Hatta. ya, bapak bangsa berkacamata yang dikenal kaku itu. Bagiku Hatta adalah gambaran laki-laki yang ideal. Ia menikahi bu Ratmi dengan mas kawin berupa buku yang ia tulis sendiri, tidak ada catatan sejarah ia bermain dengan perempuan lain, begitupun hidupnya yang disiplin, rapi dan sederhana.

Lucu juga, ternyata kita bisa bercerita panjang lebar hanya karena aku menyukai semua hal tentang Moh. Hatta. Banda Neira bagiku hanya tempat asing yang pernah kubaca lewat literatur, disana juga Hatta pernah dibuang. Tapi Sanif membawakanku cerita lain, cerita yang tidak pernah kubaca di buku-buku biografi Hatta sebelumnya sebagai seorang pemuda dari Banda Neira.

Hatta pernah bersurat dan menitipkannya pada seorang lelaki penjual goreng pisang disana. Kejujuran penjual goreng pisang itu membuat ia tidak berani membuka surat yang dititipkan Hatta, padahal surat itu juga cikal bakal kemerdekaan indonesia. Aku ingat percakapan pertama kami tercipta karena Sanif menitipkan pesan pada selembar sticky note bertuliskan kata-kata, aku mau cerita nanti tentang Banda, Hatta dan program nanti, masih kuingat dengan jelas. Itu sore yang sibuk, ditengah materi kelas yang padat.

Materi di kelas terus berjalan, kami juga semakin akrab. Aku suka mendengarnya bercerita, kadang aku juga merasa tatap matanya mengawasi gerak-gerikku, tetapi entahlah aku juga kurang yakin tentang itu. Tidak seperti laki-laki lain yang kukenal, ia bertanya banyak hal tentang hobi, tempat asal, dan kehidupanku. Dia juga menjadi laki-laki yang membaca banyak tulisanku. 

Di satu malam setelah materi kelas malam hari kelima itu, kami sepakat untuk berjalan berdua menuju kamar penginapan peserta masing-masing, bercerita banyak hal, dan membahas cerpen yang pernah kubuat. Tidak seperti pembacaku yang lain, dia masuk lebih dalam dan begitu menyelidik. Selama menjadi penulis, aku baru menemui model pembaca macam sepertinya.

Sanif juga bukan hanya seorang pembaca, meski ia suka membaca komik atau manga, ia juga seorang yang suka menggambar sketsa (sketcher). Pada titik inilah aku melihatnya sebagai orang yang otentik, dia selalu membawa sebuah buku kecil khusus dan perlengkapan menggambar, di saat-saat tertentu, ia pasti meluangkan waktu untuk menggambar sebuah objek yang menarik baginya.

Aku memperhatikan semburat jari-jarinya yang kokoh, seorang pekerja keras yang memiliki cerita hidup yang tidak mudah. Dia adalah anak terakhir dari pernikahan ibu dan bapaknya yang masing-masing berstatus pernikahan kedua. Lahir di Pulai Ay, salah satu dari sembilan pulau di Banda Neira, Maluku. Bahkan sejak kecil ia tinggal dan diasuh oleh orang lain, sementara ibu dan bapaknya, aku tidak ingin menjadi pembuka luka-luka masa kecilnya, dengan itu pula kukira dia telah terlatih mengobati dirinya sendiri. Ada banyak hal yang tidak bisa kita ceritakan pada orang lain, kurasa begitu, kan.

Hari demi hari berlalu, pelatihan itu disudahi dengan menugaskan kami pada aksi lingkungan di daerah masing-masing. Pada hari terakhir itu pula, saat akan mengantarnya pulang di depan gedung pertemuan, menuju sebuah mobil yang akan mengantarkannya ke Surabaya, aku diberitahu oleh seorang karib. Sanif sebenarnya sudah memiliki kekasih dan akan menikah dalam waktu dekat, jadi aku tak mungkin bisa berharap lebih.

“Kamu kenapa gak jujur kalo udah punya pacar”

Dia tampak bingung dan gelagapan

"Kamu maunya aku gimana?”

“Aku mau kamu pilih aku atau dia” hening.

“Oke, aku pilih dia. Kamu pasti mikir, kenapa gak bilang dari awal, kan. Perasaan kita gak pernah salah, cuma waktunya yang tidak pas. Andai aku bisa mutar waktu, aku juga gak mau ketemu orang selain kamu. Tapi aku nggak bisa. Kami udah pacaran lama dan keluargaku juga sudah suka sama dia”

Itu kata-kata terakhir yang masih teringat, sesaat sebelum aku melangkahkan kaki menjauh darinya. Benar, apa-apa yang pernah hadir dalam hidup, kadang hanya sebuah episode perjumpaan untuk kemudian disimpan dan dibuka saat kita menginginkannya. Setidaknya aku pernah merasakan pegangan tangannya yang erat, merasakan ciumannya yang mendarat tepat di keningku, serta memberikan senyum terbaik saat kami berpisah. 

Saat menulis ini, beberapa hari sebelumnya Sanif memberiku kabar bahwa ia berada di Ambon. Sedang mengunjungi keluarganya dan mengurus surat-surat untuk pernikahannya nanti. Aku sedih, tentu. Tapi rasa bahagiaku jauh lebih besar. Konon, tentang perasaan, kita tidak boleh egois, melihatnya akan berbahagia tentu harusnya juga membuat kita bahagia, walaupun itu bukan kita.

Aku masih ingat, dia suka menyebutku bintangnya. Seseorang yang ia impikan, semua yang ada padaku adalah impiannya. Tapi apa yang dia lakukan, sama sekali tidak menyatakan hal itu. Sanif, seindah apapun bintang itu, terangpun dia, tetap saja tidak bisa diraih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun