Dia tampak bingung dan gelagapan
"Kamu maunya aku gimana?”
“Aku mau kamu pilih aku atau dia” hening.
“Oke, aku pilih dia. Kamu pasti mikir, kenapa gak bilang dari awal, kan. Perasaan kita gak pernah salah, cuma waktunya yang tidak pas. Andai aku bisa mutar waktu, aku juga gak mau ketemu orang selain kamu. Tapi aku nggak bisa. Kami udah pacaran lama dan keluargaku juga sudah suka sama dia”
Itu kata-kata terakhir yang masih teringat, sesaat sebelum aku melangkahkan kaki menjauh darinya. Benar, apa-apa yang pernah hadir dalam hidup, kadang hanya sebuah episode perjumpaan untuk kemudian disimpan dan dibuka saat kita menginginkannya. Setidaknya aku pernah merasakan pegangan tangannya yang erat, merasakan ciumannya yang mendarat tepat di keningku, serta memberikan senyum terbaik saat kami berpisah.
Saat menulis ini, beberapa hari sebelumnya Sanif memberiku kabar bahwa ia berada di Ambon. Sedang mengunjungi keluarganya dan mengurus surat-surat untuk pernikahannya nanti. Aku sedih, tentu. Tapi rasa bahagiaku jauh lebih besar. Konon, tentang perasaan, kita tidak boleh egois, melihatnya akan berbahagia tentu harusnya juga membuat kita bahagia, walaupun itu bukan kita.
Aku masih ingat, dia suka menyebutku bintangnya. Seseorang yang ia impikan, semua yang ada padaku adalah impiannya. Tapi apa yang dia lakukan, sama sekali tidak menyatakan hal itu. Sanif, seindah apapun bintang itu, terangpun dia, tetap saja tidak bisa diraih.