Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepergian Saijah

9 Juni 2020   10:30 Diperbarui: 9 Juni 2020   10:34 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Novita Sari

Pagi itu sekaligus menjadi pintu gerbang keganjilan Saijah. Tak ada lagi lelaki di desa yang mau menggodanya, bahkan melihatnya saja jijik. Ibu-ibu yang sering mengumpat nya juga tak jauh berbeda, mereka menambah sumpah serapah atas penyakit yang datang pada Saijah. "Syukurla, memang itu yang cocok untuk janda gatal" yang lain mengiyakan dan menambah daftar kesalahan Saijah.

Anaknya Suaidah saat itu masih duduk di sekolah menengah pertama, tanpa keterampilan yang cukup dalam mengurus orang sakit, Suaidah menjadi satu-satunya sandaran bagi ibunya.

Berulang kali ia mendatangi puskesmas, meminta obat, memasakkan makanan, memandikan ibunya hingga mengerjakan segala tugas rumah. Semua dilakukan gadis belia itu. 

Bahkan bau anyir dan tengik dari tubuh ibunya pun tak lagi ia rasakan, hidungnya sudah begitu akrab dengan bebauan itu. Tengah malam, kadang-kadang ia harus terbangun untuk mengipasi ibunya yang tiba-tiba kepanasan, menyisir rambut ibunya yang tampak mulai memutih setiap pagi, dan mengganti pakaiannya saban hari.

Tidak ada yang benar-benar jahat di dunia ini barangkali, Saijah dan penyakitnya mendapatkan perhatian serius dari kepala desa. Banyak bantuan sembako dan rapalan doa yang ia terima dari orang-orang yang tak dikenalnya. Mereka datang begitu saja, bisa berganti-ganti selama seminggu. 

Banyak yang datang membawa ramuan rempah, kencur, jelingo, banglai. Ada juga yang membawakan sirih kapur sebagai tangkal hal-hal gaib, yang lain membawakan kelapa hijau yang sudah dibakar untuk diminum airnya.

Tak terhitung ramuan dedaunan yang disarankan tiap mereka yang datang. Hal ini yang kadang membuat anak gadis Saijah menjadi bingung sendiri. Namun ia tetap selalu merawat ibunya. Diturutinya perkataan orang-orang untuk menggunakan obat dari ramuan yang dibawakan.

Hingga pada bulan ke enam, malam saat itu terasa sangat dingin. Dapur rumah Saijah yang sudah miring berderit-derit ke kanan dan ke kiri. Sementara Saijah di kamar menggigil kedinginan, sudah empat lapis selimut di letakkan di atas tubuhnya, namun kian lama ia merasa dingin itu semakin menusuk kulitnya.

Suaidah yang menyaksikan ibunya hanya bisa tersedu-sedu, sambil sesekali merapal surah pendek yang ia ingat ketika dulu sekolah madrasah. Dipegangnya kening Saijah, panas keningnya bahkan membuat Suaidah tak sanggup meletakkan tangannya terlalu lama. 

"Tidak mungkin" pikirnya. Ibunya merasakan dingin yang teramat, padahal suhu tubuhnya amat panas. Sebuah kontradiksi yang tak sanggup diterjemahkan oleh seorang gadis belia.

Hingga malam itu berlalu, tanpa sadar Suaidah tertidur di samping ibunya. Menghabiskan saat-saat tersulit ibunya malam itu. Tak berapa lama, suara kokok ayam tetangga membangunkan Suaidah. Bulu matanya yang lentik perlahan membuka mata, dua bola mata hitam yang indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun