Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bayang-bayang Bapak

26 Maret 2020   15:00 Diperbarui: 26 Maret 2020   15:06 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara jeritan emak di depan kamar seperti menyambar alam bawah sadar. Kubuka sepasang mata, mimpi ditampar Juriah karena ketahuan tidur dengan suaminya tak lagi kuingat alurnya.  Dibalik jendela, langit pagi tampak muram. Kutarik tubuhku untuk duduk, sempoyongan. 

Suara emak kembali memenuhi telinga, jarak kami yang hanya dibatasi sekat dinding papan tipis lumayan membuatku kesal, hidup sebagai orang miskin, gendut, dan hitam.

"Anak gadis belum bangun, bujang mano yang nak ngelamar " pekik emak. Ia berlalu sambil membopong keranjang berisi pakaian siap jemur.

Aku berkecap. Kubawa badanku ngeloyor ke garang, bagian belakang rumah panggung yang biasanya digunakan untuk mencuci piring, mandi, dan berak. Terbuat dari susunan kayu Bulian yang sudah menghitam. Jika diperhatikan, lumut tumbuh subur di bagian samping dan bawah lantai garang ini. Dibawahnya tampak aliran hijau kehitaman dengan beberapa plastik terhampar, inilah sisa produksi perut rumah kami, selebihnya  sedang berkumpul di septi tank belakang.

Aku duduk didepan ember berisi air sumur yang bening. Bayangan wajah dan belek yang mengeras tampak samar. Geram aku pikirkan, setiap pagi emak membangunkan ku dengan alarm racauan. Tidak jauh-jauh dari kekhawatirannya kalau aku tidak mendapatkan seorang suami, takut aku bertumbuh sebagai perempuan pemalas karena suka bangun siang, dan ketakutannya lain yang tak berdasar.

Heran, padahal adikku Johan juga sering seperti itu, tetapi emak jarang sekali membangunkannya. Jika ku sindir, emak berdalih jika laki-laki memang butuh istirahat yang lebih. Walaupun pekerjaannya setiap malam adalah bermain kartu di pos ronda.

Usiaku sudah menginjak 23 tahun, semenjak tamat sekolah menengah atas, aku hanya dirumah. Membantu emak mengerjakan tugas rumah tangga dan jika ikan mudik, aku biasa membuat keripik ikan. Maklum saja, rumah kami yang membelakangi sungai membuat kami dapat memperoleh bahan baku ikan dengan harga cuma-cuma. 

Ku guyur mukaku dengan air, dinginnya meresap sampai ke bagian kulit epidermis. Belum selesai aku mencuci muka, emak sudah hadir di belakangku. Dengan terburu-buru ia menghidupkan api pada anglo, sebuah tempat memasak tradisional berbentuk bulat dengan lubang depan tempat memasukkan kayu bakar.

Sambil menghidupkan api, emak berceloteh.

"Tuh, tengok, Midah bentar lagi dilamar anak tokeh getah. Pelamaran ditanggung mertuonyo, ngisi kamar kosong pulak" katanya sambil menyalakan korek. Aku pura-pura tidak mendengarkan. Ya, bukan sekali ini saja emak membicarakan tentang anak gadis orang yang 'laku' dipinang.

Sebelumnya, Mila, tetanggaku juga menjadi  pembicaraan emak karena berhasil menaklukkan anak pemilik toko sayur terbesar di kampung kami. 

Aku tahu emak bukan hanya ingin membicarakannya, jauh dari itu, emak sebenarnya juga ingin aku dinikahi oleh lelaki yang mapan, yang menggelar resepsi pernikahan dengan sambutan petatah-petitih dari tuo-tuo tengganai, lengkap dengan hantaran dan mengisi kamar kosong sebagai adat yang menunjukkan kemampuan pihak mempelai laki-laki dan harga mempelai perempuan. 

Kalau sudah begini, aku hanya bisa membalas dalam hati. "Wajarlah, Mila cantik, putih, tinggi. Apolagi Midah, keluargonyo terpandang" batinku.

Biasanya pembicaraan itu tidak berlanjut lama, selain karena aku enggan menanggapi emak, kami pun tenggelam pada rutinitas masing-masing. Emak sibuk mengurus ternak kambing kami. Sedang aku kebagian tugas rumah, memasak, menyapu, mengepel, dan berberes apa saja.

Aku cukup paham dengan kekhawatiran emak. Sejak bapak meninggal dua tahun lalu, emaklah yang mengurus segala keuangan keluarga kami. Emak yang mengambil upahan di sawah-sawah milik warga jika musim panen tiba, emak juga mengurus ternak-ternak milik Abah Ijan. Dari sanalah kami bisa bertahan hidup.

Biasanya dulu, saat bapak masih hidup, semua kebutuhan bapak yang penuhi. Emak hanya perlu menjadi ibu rumah tangga yang baik. Walau begitu, jangan kalian pikir jika bapak adalah seorang suami yang baik.

Emak kerap kali menjadi asam tangan bapak. Aku tidak yakin, tapi inilah yang kusaksikan. Hampir setiap malam aku mendengar emak menangis setelah suara macam lecutan kecak pinggang berayun-ayun.

Saat pagi hari, aku kadang menemukan bekas kebiru-biruan di sekujur lengan dan kaki emak. Bapak juga tak segan memecahkan apa saja di rak piring jika rumah tidak rapi. Kau tahu, menyaksikan itu rasanya seperti berdiri di depan salon-salon pengeras suara saat pesta pernikahan, deg-degan bukan main.

Mata bapak juga membelalak seperti sedang kesetanan saat marah. Belakangan, saat bapak sudah tidak ada, baru ku ketahui. Bapak memiliki riwayat hipertensi. Bahkan ia menghembuskan nafas terakhir saat sedang memarahi emak di dapur, karena emak lama menyiapkan makan malam.

Jadilah ia buang segala yang ada diatas meja makan. Disaat bersamaan, bapak terjatuh. Tubuhnya kejang-kejang, matanya membelalak dengan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya. Semacam ingauan yang tak kami ketahui dengan jelas.

Kepergian bapak waktu itu sejatinya meninggalkan banyak hal. Kami senang, karena tak ada yang mengamuk lagi dirumah. Tapi kami juga sedih karena itu artinya kami harus memikirkan sendiri bagaimana melanjutkan hidup. Sedang saat itu adikku masih duduk di bangku sekolah.

Aku berjalan kedepan membawa sapu ijuk ditangan, kupandangi awan,  matahari tampaknya masih enggan berjalan cepat. Saat hendak menyapu halaman, kulihat Erwin, suami Juriah melintas dengan motor Vespanya. Kami beradu tatap, ia melempar senyum. Kubalas dengan senyum secukupnya. Kurasa macam inilah permulaanku menjadi emak dimasa lalu, dan Erwin, suami Juriah itu adalah bayang-bayang bapakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun