Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perjalanan Menuju Surati

16 Februari 2020   21:05 Diperbarui: 17 Februari 2020   07:19 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jangan Jang..jangan pegi...ya Tuhan jangan datangi rumah hantu keramat itu" perkataan ibunya masih saja terngiang.

Ia akhirnya pergi juga, datuk Dullah adalah orang besar di kampung. Besar karena perkataannya selalu didengar dan berpengaruh dalam menangani hal-hal yang tidak masuk akal.

"Kalau kau mau ibu mu sehat, ikutilah petunjukku. Jangan kau banyak bertanya." Kata datuk Dullah meyakinkan. "Yang bisa menyembuhkan ibumu hanya nyai Sabeni, keturunan suku anak dalam yang tinggal di rumah nan tulang, Mentawak itu."

"Iya datuk, apapun akan saya lakukan untuk kesembuhan Mak saya" jawab Bujang.

"Yang mengerjai ibu mu ini adalah orang suku anak dalam, jadi tidak ada cara lain kecuali orang suku anak dalam pulalah yang menyembuhkan" Kata Datuk Dullah meyakinkan.

Ia mulai berjalan kaki mengintari perkampungan, orang-orang yang bertanya hanya ia jawab dengan senyum. Sesekali ia alihkan agar tak menyebutkan tujuan perjalanan nya.

"Kemano kau Bujang, ngenggak be bejalan" Kata Tonang anak kepala desa hampir berteriak. 

"Dak Ado lah" Jawab Bujang sekenanya.

Ia terus  berjalan, perkampungan itu sudah tertinggal jauh di belakang. Kini ia masuk ke perkebunan sawit milik pihak swasta, tampak beberapa orang laki-laki paruh baya sedang menodos sawit. Kulit mereka yang kecoklatan ditimpa keringat tampak mengkilat dibawah sinar matahari sore.

Para pekerja tersebut tampak celingukan, merasa aneh dengan kehadiran Bujang. Tapi mereka tampak tak terlalu peduli dengan Bujang, dikiranya Bujang adalah pekerja baru yang hendak bertemu mandor karena membutuhkan uang. Seperti mereka kebanyakan.

Bujang terus saja berjalan tanpa peduli sekeliling, perkebunan kelapa sawit yang cukup luas itu pun ia lewati. Letih betul ia tampaknya, namun ia tidak dianjurkan berhenti karena itu salah satu pantangan dalam pencariannya menemui nyai Sabeni yang tinggal di rumah nan tulang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun