Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Bayang-bayang Ibuku

4 Januari 2020   09:50 Diperbarui: 11 Januari 2020   06:17 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boleh jadi, sikap kemayu yang aku miliki disebabkan oleh rangsangan dari lagu-lagu dangdut yang  selalu aku dengarkan saat hendak tidur di buenan atau dari lenggokan-lenggokan kecil ibu saat memasak didapur yang aku perhatikan diam-diam.

Mungkin  juga lewat orkes dangdut yang sering manggung di acara pesta pernikahan di kampung ini. Siapa pula yang tahan dengan alunan musik itu, pinggul dan tangan  akan otomatis bergoyang mendengarnya.

Disekolah, aku  berteman dengan anak-anak perempuan. Bermain karet dan ikut bergosip membicarakan apa saja, tentang guru kimia yang galak, ketua osis yang ganteng hingga artis-artis yang mengalami kegagalan rumah tangga. Menurut teman-temanku,  aku cukup pintar karena tahu banyak hal saat bercerita dibandingkan dengan anak laki-laki lain.

Aku senang dengan pujian mereka, aku pun tak ambil pusing dengan bisik-bisik tak mengenakan di kelas. Makan bekal bersama di kelas, membuat pr, dan memasak. Tidak ada yang salah jika itu dilakukan oleh anak laki-laki sekolah menengah atas sepertiku. Aku juga kadang-kadang ikut bermain sepak bola, tapi aku tidak merasakan bahwa permainan ini mengembangkan kemampuanku.

Aku pernah didorong, diinjak, dan dimarahi hanya karena tak pandai mengoper bola. Apakah anak laki-laki diciptakan untuk semenderita ini. Hanya untuk bermain kami harus berkotor-kotor, luka, dan kadang bertengkar, kurasa ini bukan pilihan.

Apa salahnya memilih menjadi diri sendiri. Sejak kecil aku memang hidup bersama ibu. Bapak, seorang pekerja kapal yang hanya pulang satu kali selama setahun. Saat pulang, kami jarang bermain bersama layaknya seorang anak laki-laki dan ayahnya. Bapak hanya mengetahui perkembanganku dari ibu, soal nilai raportku tentunya.

Ia akan marah besar jika rangking ku menurun. Ia juga selalu memastikan ibu memasukkan ku pada sekolah terbaik di kota ini. Sebaliknya, ia akan senang jika aku mendapatkan juara umum. Ia akan menceritakan keberhasilanku pada teman-teman kerjanya, pada saudara yang datang dan pada siapa saja.

Bisa membuat bapak senang menjadi kebahagiaan bagiku, walau kadang itu juga terasa berlebihan. Bapak tidak tahu aku sebenarnya memiliki minat yang besar pada pelajaran dan ekstrakulikuler seni. Menari, bernyanyi, dan melukis, betapa Tuhan telah menyediakan peradaban yang indah untuk manusia di bumi ini.

Pagi ini aku menyalakan motor untuk berangkat menuju tempat kerjaku, sudah enam bulan aku bekerja setelah lulus dari sekolah. Karena kesulitan ekonomi akibat perpisahan ibu dan bapak yang tak jelas penyebabnya, aku tidak bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, jadilah aku diterima sebagai karyawan di sebuah ruko percetakan. Inipun karena pemiliknya adalah saudara dari salah satu teman ku di sekolah dulu.

Setiap hari aku melewati lorong-lorong kecil sebagai jalan pintas alternatif. Rumah-rumah yang sebagiannya berbentuk panggung setiap pagi tampak riuh rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun